Kaukau Tak Sabar
Kaukau adalah seekor anak K kanguru. la tinggal di kantong perut ibunya. la menyusu pada ibunya di dalam kantong yang hangat dan nyaman. Kata ibu Kaukau, saat Kaukau sudah besar dan kuat untuk hidup sendiri nanti, barulah Kaukau boleh keluar. Namun sekarang, ia harus tetap berada di dalam kantong ibunya yang aman.
Ibu Kaukau adalah kanguru betina yang tinggi dan kuat. Ibu Kaukau sangat lincah melompat-lompat di padang rumput. Bentuk tubuhnya sungguh lucu, besar di bawah. Kedua kakinya panjang dan kuat. Kedua tangannya kecil. Bila ibunya melompat- lompat, maka Kaukau di dalam kantong akan terguncang-guncang. Namun tidak mengapa, karena kantong itu sungguh empuk.
Kaukau senang bila ibunya melompat-lompat. Ya, ia merasa seperti turut pula melompat-lompat. Kaukau menjulurkan lehernya ke luar kantong. Kini ia dapat melihat keadaan di luar, di padang rumput. Ooo, banyak sekali pohon besar berdaun rimbun. Ada semak-semak dengan bunga warna-warni pula. Sungguh indah! Kaukau mendongak ke atas. Hei, lihat! Di langit ada sekelompok bangau terbang berderet-deret. Wah, Kaukau ingin sekali segera bisa melompat-lompat di tanah seperti ibunya. "Bu, bolehkah aku turun? Pemandangan di padang rumput ini sungguh indah. Aku ingin melompat- lompat di antara bunga-bunga itu. Indah dan aromanya wangiii..... Boleh, ya, Bu?" Kaukau membujuk ibunya. "Jangan, Nakl Tubuhmu belum cukup besar. Bulumu belum tumbuh sempurna. Kalau keluar dari kantong Ibu, kau akan kedinginan. Lagi pula kau bisa tersesat nanti," cegah ibunya. "Tapi Bu, aku sudah besar. Lihat, kantung Ibu mulai sempit. Hampir tidak cukup untuk menampung aku. Sekali ini saja, Bu!" rengek Kaukau. Ibu Kaukau tetap menggelengkan kepalanya. Dengan sedih Kaukau kembali memasukkan kepalanya ke dalam kantong. Seharian ia tak mau melihat ke luar. Ibu Kaukau hanya dapat menghela napas. Kaukau memang masih terlalu kecil
untuk bisa bermain di luar kantong ibunya.
Suatu hari, datanglah Bibi
Kaka, teman ibu Kaukau. Bibi Kaka mengajak Gogo, anaknya. Gogo lebih tua sedikit daripada Kaukau, walau tubuh mereka hampir sama besar. Bibi Kaka senang sekali dapat berkunjung ke tempat Kaukau. Ibu Kaukau asyik mengobrol dengan Bibi Kaka. Kaukau juga
mengobrol dengan Gogo.
"Kaukau, kenapa kamu masih tinggal di kantong ibumu?" bisik Gogo. "Ayo, keluarfah. Kita bermain bersama di padang rumput indah ini," ajak Gogo.
Kaukau jadi terbujuk. "Go, aku juga ingin sekali keluar. Tapi ibuku tidak izinkan."
"Ssst. tidak usah takut, Kaul Coba kau minta sekali lagi. Mungkin sekarang ini ibumu izinkan. Kan, ibumu sedang asyik ngobrol dengan ibuku," bujuk Gogo lagi.
Kaukau mengangguk pelan. la lalu mendongak menatap wajah ibunya. Kaukau memohon sekali lagi.
"Bu, aku ingin main dengan Gogo di luar. Boleh, ya, Bu?" pinta Kaukau. Namun, ibu Kaukau ternyata tetap menggeleng.
"Jangan, Nak. Sudah Ibu bilang, kau masih terlalu kecil!" jawab ibu Kaukau.
Kaukau sedih sekali. Air matanya sudah hampir menitik.
"Ah, Kaukau sudah besar. Biarlah ia bermain dengan Gogo di sekitar sini. Asalkan tidak terlalu jauh," ujar Bibi Kaka ikut membujuk.
"Ya, Bibi! Aku dan Kaukau tidak akan bermain jauh-jauh. Di dekat sini saja," tambah Gogo lagi.
Ibu Kaukau berpikir sejenak, la melihat wajah Kaukau yang tampak sedih. Ibu Kaukau tak tega dan
akhirnya berkata, "Hmmm! Baiklah! Kaukau, kau boleh melompat ke luar. Tapi ingat, Jangan jauh-jauh, ya!" kata ibu Kaukau.
Ooo, betapa senangnya hati Kaukau. Dengan lincah, ia melompat ke luar dari kantong ibunya. Aiih, senangnya hati Kaukau saat kakinya menginjak rumput. Baru kali itu ia merasakan rumput di telapak kakinya.
Bersama Gogo, Kaukau melompat- lompat di antara semak-semak bunga. Oi, sungguh asyik! Bunga-bunga itu ternyata beraroma sangat harum jika dihirup dari dekat.
"Kaukau! Ayo, kita main sembunyi- sembunyian!" ajak Gogo.
"Baiklah! Kau sembunyi duluan. Aku akan menutup mataku! Aku
hitung sampai sepuluh, yaa ... satu, dua...." sahut Kaukau sambil mulai menghitung.
Gogo cepat-cepat melompat ke balik pohon yang besar. la bersembunyi di situ. Pada hitungan kesepuluh, Kaukau membuka matanya kembali, la melihat ke sekeliling. Namun, Gogo tak terlihat sama sekali. Gogo pandai bersembunyi. Kaukau memerhatikan jejak di rumput.
"Wah, tidak ada jejak kaki Gogo. Gogo sembunyi di mana, ya? Coba aku cari lebih jauh...." pikir Kaukau. Kaukau lalu melompat-lompat
mencari Gogo lebih jauh. Tak terasa, ia juga semakin jauh dari tempat ibunya dan Bibi Kaka mengobrol. Saat mencari Gogo, Kaukau juga melihat pemandangan sekeliling. Banyak bunga aneka warna di antara semak. Bunga-bunga yang belum pernah dilihatnya. Diciumnya satu-persatu. Hmm, sungguh wangi aromanya.
Kaukau semakin jauh melompat karena ia melihat bunga-bunga lain yang lebih indah. Kaukau tak sadar, hari semakin senja. Matahari sudah setengah terbenam. Tiba-tiba Kaukau tersadar dan terkejut. la tak melihat ada seekor binatang pun di sekitarnya. Suasana sunyi sepi. Hari mulai gelap. Kaukau melihat
sekeliling. Hanya ada pepohonan dan semak. la tak dapat mengenali lagi jalan menuju ke tempat ibunya. "Ibuuu... Ibuuu di manaa? Aku tersesat! Tolong aku, Buuu
huuuu... huuu....
Kaukau menangis tersedu- sedu, la sungguh menyesal tidak mendengarkan nasihat ibunya. Angin bertiup kencang. Brrr, Kaukau merasa kedinginan sebab bulu tubuhnya masih tipis. Padahal di dalam kantong
ibunya ia merasa nyaman dan hangat! Tiba-tiba ia mendengar suara ibunya.
"Kaukauuuu.... Syukurlah kau tak apa-apa!" seru ibu Kaukau cemas bercampur lega. la meraih Kaukau dan memeluknya.
"Ibuu... huhuuu... aku tersesat waktu mencari Gogo," Kaukau menangis lega.
"Untung Ibu mendengar teriakanmu. Kita harus segera pulang. Nak. Malam begini, banyak binatang buas! Gogo dan Bibi Kaka sudah pulang sejak tadi," Ibu Kaukau segera memasukkan kembali Kaukau ke dalam kantongnya.
Kaukau senang sekali. la merasa hangat dan nyaman di dalam kantong ibunya. Matanya mengantuk ketika ibunya melompat-lompat kembali ke sarang mereka. Kaukau seperti terayun-ayun. Sambil menutup matanya. Kaukau berjanji, akan menuruti nasihat ibunya, la akan keluar dari kantong ibunya di saat Ibunya sudah mengizinkan.
Komentar
Posting Komentar