Bao dan Duy

 Matahari bersinar terik. Walaupun demikian, para petani tetap bekerja keras, kecuali Bao, la adalah seorang petani muda yang malas. Sawahnya yang hanya sepetak kecil tidak pernah digarap dengan sungguh-sungguh. Hasilnya pun selalu sedikit. Namun, ia tak sadar akan kesalahannya, la malah lebih suka menggerutu dan menyesali nasib.

Suatu pagi, semua tetangga Bao asyik bekerja di ladang mereka. Bao malah termenung di bawah pohon sambil meratapi nasibnya.

"Tuhan tidak adil," gerutunya, "Mengapa Tuhan memilih aku menjadi manusia yang miskin? Mengapa aku tidak dijadikan orang yang kaya raya?"

"Mengapa kau menggerutu, Bao?" Bao terkejut saat tiba-tiba mendengar suara. la menoleh. Di sisinya, telah duduk seorang kakek tua kerdil. Kakek itu tersenyum ramah kepadanya.

"Kakek? Dari mana Kakek tahu namaku? Dan Kakek pasti bukan penduduk desa ini. Aku belum pernah melihat Kakek," ujar Bao heran.

"Aku memang bukan penduduk di sini, he he he...," sahut kakek kerdil itu sambil tertawa. "Dan tentu saja aku tahu segalanya. Sebab aku ini Petapa Kerdil Sakti!"

Bao terkejut dan sangat girang. "Astagaaa, Kakek adalah Petapa Kerdil Sakti yang terkenal itu? Aku sering mendengar cerita tentang Kakek. Kalau begitu, Kakek pasti dapat menolongku," ujar Bao penuh semangat. Nama Petapa Kerdil Sakti memang tak asing lagi di desanya. Petapa sakti bertubuh pendek ini sering membantu orang yang kesusahan.

"Apa yang kau butuhkan, Nak?" tanya Petapa Kerdil Sakti.

Bao bercerita pada kakek itu tentang kemiskinannya. Dan ia sangat ingin menjadi orang kaya, la ingin berpesta pora setiap hari. Petapa Kerdil Sakti tersenyum.

"Jadi, kau ingin menjadi orang kaya? Itu masalah mudah! Aku bisa menolongmu agar keinginanmu tercapai," kata kakek Petapa itu.

Mata Bao mendelik lebih besar lagi saking girangnya. "Kakek mau menolongku?"

Petapa Kerdil Sakti mengangguk, lalu melambaikan tangannya ke suatu arah. Tiba-tiba saja, entah dari mana, muncullah seekor simpanse yang tampak cerdas.

"Simpanse ini bernama Duy. Semua keinginanmu akan terkabul jika kau mau merawat Duy. Kau harus merawatnya sendiri! Tidak boleh dibantu orang lain. Istrimu pun tak boleh membantumu," ujar Petapa Kerdil Sakti.

"Maksud Kakek, aku harus mengurus Duy setiap hari, seperti mengurus anak?" tanya Bao bingung.

"Tugasmu tidak banyak. Kau hanya harus memandikan, memberinya makan, dan mengajak Duy ke mana pun engkau pergi."

"Hanya itu? Dan aku akan jadi orang kaya?" tanya Bao. Kakek Petapa itu mengangguk.

Bao sangat girang dan langsung setuju dengan syarat dari kakek Petapa.

Maka sejak hari itu, Duy tinggal di rumah Bao. Ajaibnya, sejak Duy ada di rumah Bao, hasil ladang Duy tumbuh berkali-kali lipat walau tidak dirawat. Padi dari hasil ladang Bao juga bisa

dijual dengan harga mahal karena rasanya sangat lezat. Bao bisa membeli tanah lagi sehingga ladangnya semakin luas, la bisa membayar pekerja untuk mengurusi ladang dan hasil panennya.

Tak berapa lama, kekayaan Bao bertambah banyak, la menjadi petani yang sangat kaya. Rumahnya besar dan megah. Pakaiannya selalu mewah.

Akan tetapi, muncullah masalah baru. Bao mulai kesal dengan tingkah laku Duy. Simpanse pintar itu seolah melekat pada dirinya. Ke mana pun Bao pergi, Duy pasti ikut. Jika Bao melarangnya, Duy akan berteriak kuat-kuat sehingga menarik perhatian orang banyak.

"Ngaaak... ngaaaak... nguuuk nguuk...." Begitulah teriakan Duy. "Aku malu sekali," kata Bao suatu ketika kepada istrinya. "Banyak orang meledekku. Kata mereka, lama-lama wajah Duy jadi mirip aku!"

"Masalah kita lebih besar dari itu," sambung istrinya, "Banyak orang yang menghina di belakangmu, karena Duy memperlakukan kau seperti pelayannya," ujar istri Bao kesal.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Bao.

"Coba tegas padanya. Jangan terlalu diikuti kemauannya."

"Sudah kucoba, tetapi gagal.la hanya mau mandi bila aku yang memandikannya. Hanya mau makan bila aku yang menyuapi, dan, bila berjalan, aku harus menggandengnya." Istri Bao mengawasi Duy yang tidur nyenyak di pangkuan suaminya. Istri Bao kesal pada Duy.

la lalu membisikkan sebuah rencana ke telinga Bao. Bao meng- angguk setuju. la membangunkan Duy dan berkata,

"Duy, sudah waktunya kau kembali kepada Petapa Kerdil Sakti. Sampaikan terima kasih kami kepadanya".

"Nguk ngaak... nguk ngaak.... Duy berteriak seperti merengek. Kepalanya ia geleng-gelengkan. Rupanya Duy tak mau pulang.

"Kau harus pulang," bentak istri Bao. "Kami tidak lagi memerlukanmu. Ayo pergi! Jika tidak, kupanggil pelayan-pelayanku supaya menyeretmu ke hutan!" Duy memeluk leher Bao erat- erat meminta perlindungan. Namun, Bao bahkan menjadi semakin jengkel dan marah.

Disentakkannya Duy sehingga jatuh bergulingan ke lantai, lalu diusirnya.

Sambil menangis, Duy pun meninggalkan rumah itu. Bao dan istrinya tertawa dengan perasaan lega. Namun, kegembiraan mereka hanya sekejap. Ketika Duy lenyap dari penglihatan, lenyap pula rumah mewah mereka. Rumah Bao kembali reot seperti dahulu kala. Benda benda berharga di dalam rumahnya dulu pun lenyap semua. Bao kembali menjadi miskin seperti semula.

Walau jatuh miskin, kini Bao malah menyadari kesalahannya. la merasa telah berbuat jahat dan tak berterima kasih pada Duy dan kakek Petapa. Bao malah bersyukur, karena Petapa Kerdil Sakti tidak mengambil ladangnya. Ladang besa miliknya masih terhampar di sebela rumahnya yang reot. Sejak saat itu, Bao berubah menjadi petani yang rajin, la dan istrinya mulai dari awal lagi menggarap ladang mereka sendir dengan bekerja keras. Tak lama kemudian, hidup mereka mulai membaik walau tanpa keajaiban Petapa Kerdil Sakti.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan