Dongeng : Tukang Cukur yang licik
Di negeri Bagdad, hiduplah seorang penjual kayu bakar bernama Amil. Setiap pagi ia berangkat ke kota, dan kayu-kayu bakarnya diangkut di punggung keledainya.
Pada suatu hari, nasib Amil kurang beruntung. Walau hari sudah siang, kayu bakanya belum juga terjual. Dengan lunglai, Amil pun menuntun keledainya yang membawa kayu bakat la akan pulang tanpa memba- wa uang sedikit pun.
Ketika sampai di depan rumah seorang tukang cukur bernama Abu, Amil mendengar suara orang memanggilnya. Ternyata Abu si tukang cukur yang memanggilnya.
Abu sangat terkenal karena keahliannya mencukur. Langgariannya banyak, termasuk pegawai-pegawai istana.
"Hei. Tukang Kayu, berhenti!" panggil Abu.
"Tuan ingin membeli kayu bakar?" tanya Amil gembira.
"Ya, akan kubeli semua yang ada di atas keledaimu itu. Berapa harganya?" tanya Abu.
"Tiga Dinar, Tuan."
"Terlalu mahal. Bagaimana kalau dua setengah Dinar saja?" tawar Abu.
Amil berpikir, hari itu sudah mulai sore. Kalau ia tak membawa uang sama sekali, bagaimana ia bisa membeli makanan untuk anak istrinya? Akhirnya Amil mengangguk dan menjawab, "Baiklah, Tuan. Di mana harus kutaruh kayu-kayu ini?"
"Bawalah ke dapur belakang!" kata Abu.
Selesai menaruh kayu bakar, Amil menghampiri Abu untuk meminta uangnya. "Ha! Pelana kuda itu tak kau buka?" tanya Abu tiba-tiba sambil menunjuk pelana di punggung keledai Amil. "Tapi, bukankah tadi Tuan bilang hanya membeli kayu bakar?" jawab Amil terkejut.
"Jangan ingkar janji! Tadi aku bilang, uang dua setengah Dinar itu untuk membayar semua yang ada di punggung keledaimu!" sahut Abu dengan lantang.
"Tapi Tuan" ratap Amil bingung. "Cepat buka pelana keledai itu! Sekarang sudah aku beli!" perintah Abu tanpa peduli.
Amil ketakutan dan dengan tangan gemetar membuka pelana keledainya. Lalu menyerahkannya pada Abu.
Setelah menerima uang dua setengah Dinar, Amil melangkah pergi dengan sedih. Amil mencoba minta pertolongan pada seorang hakim di kota itu. Namun, jawaban Hakim malah membuat hatinya jadi lebih kecewa, "Tentu saja Abu tidak bersalah. Engkau saja yang tidak teliti mendengar apa kata Abu!" jawab Hakim, yang selalu mencukur rambut di tempat Abu.
Amil akhirnya pergi dengan lemas. la berhenti di dekat sebatang pohon. la menambatkan keledainya, dan duduk termenung sedih di bawah pohon.
Tiba-tiba Amil mendengar suara yang menegurnya. "Hai, Sahabat! Apa yang membuatmu sedih?" Amil menatap orang yang menegurnya. Pakaian orang itu penuh tambalan.
"Siapakah Bapak?" tanya Amil. "Ah, aku hanya seorang pengemis. Namaku Aidil. Maukah kau ceritakan padaku, apa yang kau risaukan?" tanya pengemis bernama Aidil itu.
Amil pun menceritakan peristiwa yang menimpanya. "Aku ditipu tukang cukur. Aku melapor pada Hakim, tetapi Hakim malah menyalahkan aku" cerita Amil.
Pengemis itu mengangguk perlahan, lalu berkata, "Menurut hukum di negeri ini, kau memang bersalah karena tidak teliti. Tapi, Abu si tukang cukur memang telah menipumu. Memang sudah banyak keluhan yang aku dengar tentang Abu."
Aidil sang pengemis lalu menyodorkan uang 10 Dinar pada Amil sambil berkata, "Sekarang,. belilah pelana baru. Aku tunggu kamu di tempat ini esok pagi. Kita akan pergi ke tempat tukang cukur Itu.
"Tapi, uang ini sangat banyak...." kata Amil keheranan.
"Turuti saja kata-kataku!" ujar Aidil sang pengemis sambil tersenyum.
Amil akhirnya menerimanya dan mereka pun berpisah. Esok harinya, Amil datang ke tempat itu lagi mengendarai keledal dengan pelana baru. Aidil sudah menantinya dengan seorang anak muda berpakaian kumal.
"Selamat datang, Sahabat. Kenalkan, ini temanku Gafar. Sekarang biarlah temanku ini membawa keledaimu lebih dulu menuju ke rumah tukang cukur itu. Nanti kita berdua menyusulnya!" kata Aidil.
Amil lalu menyerahkan keledai- nya pada Gafar, dan anak muda itu pun pergi ke rumah Abu. Setiba di sana, Gafar berkata pada Abu, "Tuan Abu, saya ingin mencukur rambut."
"Silakan duduk. Ongkosnya satu setengah Dinar!"
"Baiklah. Saya akan membayar dua Dinar," kata Gafar sambil memperlihatkan uangnya, la lalu duduk dan Abu mulai mencukur rambutnya.
"Tuan Abu, maukah tuan mencukur sobat saya juga?" tanya Gafar lagi.
"Tentu, dan ongkosnya menjadi 4 Dinar dengan kau!" jawab Abu.
Gafar mengangguk setuju. Setelah rambutnya selesai dicukur, Gafar lalu keluar sebentar. la kemudian masuk ke rumah Abu lagi membawa keledai Amil. "Ini sobat saya, Tuan Abul Silakan dicukur rambutnya!"
"Hei, jangan bercanda, kaul Mencukur kau yang kumal saja sebenarnya aku malas, apalagi keledai kurus ini!" bentak Abu. "Tapi tadi Tuan telah bersedia dibayar 4 Dinar untuk mencukur saya dan teman saya," kata Gafar lagi. "Tidak! Ayo bayar dua Dinar dan cepat pergi dari sinil" teriak Abu. "Hei! Tuan Abu yang sombong.
Keledai ini telah berjasa padaku. Dia sabahatku! Ayo cukur keledaiku!" teriak Gafar, tak kalah kerasnya. Orang-orang di sekitar tempat itu mendengar keributan dan berkerumun datang. Amil dan Aidil juga ikut mendekat. Aidil berkata, "Hei, Abu. Sudah lama kudengar kesombongan dan kelicikanmu.
Sekarang aku menyaksikannya sendiri! Ayo, jangan banyak bicara lagi. Cukur keledai ini di alun-alun!" "Ha ha ha... sejak kapan pengemis busuk memerintah di kota ini? Ha ha ha," teriak Abu sambil tertawa terbahak-bahak. "Cukup Abu, hentikan tawamu kata Aidil tenang. Perlahan ia membuka kancing baju atasnya. Di balik baju kumalnya, tampaklah gambar lambang kesultanan negeri itu. Lambang yang hanya boleh dipakai oleh Baginda Sultan sendiri. Abu menjadi pucat pasi. Amil pun terperanjat, la segera menjatuhkan diri berlutut di kaki Baginda Sultan negeri itu yang menyamar sebagai seorang pengemis. Hari itu, kota itu ramai dengan orang berkerumum di alun-alun.
Mereka semua menonton Abu si tukang cukur yang sombong mencukur seekor keledai kurus.
sumber: majalah bobo 21 maret 2024
Komentar
Posting Komentar