Cerpen : Sepatu Ditukar Makanan

“Lalalalalala….” Terdengar senandung Nini di suatu sore yang cerah. Sesekali ia berlari kecil sambil melompat ceria. Hari ini Nini bergembira karena dia berulang tahun. Mamanya tadi menghadiahkan uang seratus ribu rupiah, sesuai permintaannya. Nini ingin membeli sepatu dengan uang tersebut.

Nini memang sudah lama ingin membeli sepatu merah muda. Sepatu itu terpajang di etalase toko dekat rumahnya. Sepulang sekolah tadi, Nini melihat tulisan potongan harga di toko itu.

Wah, Nini tambah bersemangat menuju toko sepatu itu.

“Nah tinggal menyeberang jalan, sampai deh! Tunggu, ya, sepatu, sebentar lagi kau akan menjadi milikku.” Kata Nini dalam hati sambil tersenyum.

Baru saja ia akan menyeberang, tiba-tiba ada yang menarik ujung bajunya.

“Kak, minta Kak….. Hari ini saya belum makan.” Terdengar suara lirik anak laki-laki.

Nini menoleh. Tampak seorang anak laki-laki berwajah sedih dan lesu. Badannya kurus, hanya ditutupi kaos tipis dan celana pendek kumal.

Kakinya pun tak beralaskan apa-apa. Nini melihat anak itu dengan iba. Tetapi ia ingin segera pergi ke toko sepatu, takut sepatu itu dibeli oleh orang lain.
“Oh ya, aku kan punya uang lima ribuan untuk beli es krim,” gumam Nini. Tangannya langsung merogoh saku bajunya.

Buru-buru ia memberikan uang itu kepada anak laki-laki itu.

Ketika menerima uang itu, wajah anak itu berubah gembira.

“Terima kasih, Kak!”

“Ya!” teriak Nini sambil menyeberang jalan.

Setibanya di depan toko sepatu, Nini segera masuk. Matanya langsung melihat sepasang sepatu merah muda berpita.

“Nah, ini dia yang kucari.” Kata Nini gembira, sambil membawa sepatu merah jambu itu ke kasir.

Akan tetapi, setiba di depan kasir, Nini tak bisa menemukan uangnya. Dengan gugup, diperiksanya semua kantong di bajunya, tetapi nihil.

Dengan wajah merah karena malu, Nini akhirnya berkata kepada petugas kasir, “Maaf Mbak, saya enggak jadi beli.”

Nini berjalan keluar toko dengan perasaan kecewa. Di depan toko, ada dua anak laki-laki yang menunggu Nini. Salah satunya adalah anak pengemis tadi.

“Kakak!” sapa anak yang lebih besar sambil menghampiri Nini.

“Terima kasih banyak, Kak! Kakak baik sekali memberikan uang seratus ribu kepada adik saya. Uang ini akan kami pakai untuk membeli makan selama beberapa hari. Juga untuk membeli obat Ibu. Sudah dua hari ini, Ibu kami sakit. Ayah kami sudah lama meninggal. Terima kasih banyak ya, Kak, terima kasih. Semoga Tuhan membalas kebaikan Kakak,” Sahut anak itu sambil menundukkan kepalanya berkali-kali.

“Ooh… yaa…” sahut Nini sambil terbengong-bengong. Kemudian kedua anak itu pergi bergandengan meninggalkan Nini yang masih tertegun.

Beberapa saat kemudian, Nini tertawa sendiri. “Ternyata yang aku kasih tadi itu seratus ribuan, bukan lima ribuan. Pantas saja seratus ribuanku tidak ada! Hahaha…”

Entah mengapa, perasaan kecewa Nini tadi langsung hilang, kini ia malah sangat gembira.

Bahkan lebih gembira daripada saat ia menerima uang itu dari Mama tadi. Setiba di rumah, Nini segera memeluk mamanya.

“Terima kasih ya, Ma. Selama ini Mama sudah baik pada Nini,” Kata Nini sambil tersenyum.

Mama yang sedang memasak di dapur, jadi bingung.

“Loh, ada apa, Sayang? Mana sepatu merah mudanya?”

“Sudah aku tukar dengan makanan dan obat, Ma,” Kata Nini sambil tertawa.

Mama bertambah bingung. Kemudian Nini menceritakan kejadian tadi.

“Menerima itu menggembirakan. Namun, memberi ternyata jauh lebih menggembirakan hati ya, Ma,” Lanjut Nini.

“Ah, anak Mama ini. Bertambah usia, ternyata semakin bijaksana,” puji Mama sambil mengusap lembut rambut Nini.













sumber: majalah bobo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan