Dongeng Anak: Rantai Emas Dewa Langit

 

Bobo.id - Apa yang akan teman-teman lakukan jika ada seorang raksasa yang mengejarmu dan saudaramu?

Tentu teman-teman akan melarikan diri, sama seperti kakak-beradik pada dongeng anak hari ini.

Mereka bertiga sedang ditinggal sang ibu untuk pergi ke makam sang ayah. Ibu berpesan untuk tidak membuka pintu untuk siapa pun. Sebab ada raksasa jahat yang suka menyamar.

Sayangnya ketiga anak itu tertipu oleh raksasa yang menyamar menjadi ibu mereka.

Seperti apa kelanjutan kisahnya? Yuk, kita baca sama-sama dongeng anak hari ini!

Rantai Emas Dewa Langit

Cerita oleh: Dok. Majalah Bobo (Adaptasi Dongeng Eropa)

Pada zaman dahulu kala, tinggallah sebuah keluarga. Ayah, Ibu, serta tiga anak mereka. Suatu ketiga, sang Ayah meninggal dunia. Ia dimakamkan di pemakaman umum tepi kota yang cukup jauh.

Pada hari ketujuh setelah sang Ayah wafat, Ibu ketiga anak itu masih merasa sedih kehilangan suaminya. Ia ingin membawa bunga ke makam suaminya. Maka ia berpesan pada ketiga anaknya.

“Ibu akan pergi membawa bunga untuk di makam Ayah. Selama Ibu pergi, kalian harus saling menjaga, ya. Sebab ada raksasa tua yang jahat. Dia pandai menyamar menjadi manusia. Dia bisa meniru suara dan rupa. Kalian harus berhati-hati. Siapapun yang datang, jangan bukakan pintu.”

Ketiga anak itu berjanji akan berhati-hati. Mereka mengantar ibu mereka sampai di muka rumah.

“Adik-adik, ayo, cepat masuk rumah lagi,” kata si anak pertama pada kedua adiknya.

Sang Ibu memerhatikan ketiga anaknya dari jauh dengan agak cemas. Namun ia ingin sekali membawa bunga untuk makam suaminya. Maka, ia pun pergi dengan hati gelisah.

Baru saja sang Ibu pergi, raksasa tua yang diceritakan sang Ibu tadi, datang ke rumah ketiga anak itu. Ia mengetuk pintu dan berkata, “Anak-anak, ibumu sudah kembali.”

“Kalau kau ibu kami, tunjukkan tanganmu!” kata ketiga anak itu.

Raksasa tua itu menuruti perintah mereka, dan menunjukan tangannya. Ketiga anak itu bergantian mengintip di lubang kecil di pintu. Tampak sebuah tangan yang berbulu-bulu tebal dan kasar.

“Tangan ibu kami kecil dan halus. Tidak berbulu seperti itu. Kau pasti raksasa tua jahat,” kata anak-anak itu.

Raksasa tua itu segera pergi dari rumah itu. Ia mencari alat cukur, lalu mencukur habis semua bulu-bulu di tangannya. Ia juga mengambil tepung gandum, dan menggosok ke tangannya. Lalu ia kembali ke rumah ketiga anak itu.

“Sekarang ibumu sudah kembali,” kata raksasa tua itu di depan pintu.

“Kalau kau ibu kami, tunjukkan tanganmu!” kata ketiga anak itu.

Raksasa itu pun menunjukan tangannya. Dari lubang kecil, ketiga anak itu mengintip. Mereka melihat tangan yang tidak berbulu dan berkulit putih. Persis seperti tangan ibu mereka. Namun, napas raksasa jahat itu sangat bau. Suaranya pun sangat besar seperti suara beruang.  

“Suara ibu kami lebih halus daripada suaramu,” kata anak-anak itu.

Raksasa jahat itu lalu pergi. Ia meminum air rendaman bunga mawar, lalu kembali ke rumah anak-anak itu untuk ketiga kalinya.

“Ibumu sudah kembali! Maafkan Ibu, ya, karena terlambat pulang ke rumah,” kata raksasa itu dengan nada lembut.

Mendengar suara yang lembut dan aroma mawar seharum ibu mereka, ketiga anak itu sangat gembira.

“Oh, Ibu sudah datang!” ketiga anak itu buru-buru membuka pintu.

Dalam sekejap, raksasa itu merubah wujudnya menjadi seperti ibu mereka. Ketiga anak itu membiarkan ibu palsu itu masuk.

Raksasa itu lalu berkata,  “Anak-anak, sebaiknya kalian tidur sekarang. Hari sudah malam.”

Seperti biasa, anak pertama dan anak kedua tidur di satu kamar. Sementara anak bungsu tidur bersama ibu mereka. Jadi, kali itu, si anak bungsu tidur bersama raksasa tua yang kini tampak seperti ibu mereka.

Di tengah malam yang sunyi, tiba-tiba terdengar bunyi gemerisik dari arah dapur. Anak pertama dan kedua terbangun. Mereka menajamkan telinga dan samar-samar mendengar bunyi besi beradu. Dengan ketakutan, mereka berdua mengendap keluar dari kamar, dan mengintip ke dapur.

Dari balik pintu dapur, mereka melihat sosok punggung ibu mereka. Ia sedang menyiapkan bahan makanan. Ia memotong-motong sayur, menghancurkan rempah-rempah, lalu memasukkannya ke dalam air mendidih.

Sang Ibu lalu mengambil pisau daging, lalu mengasahnya dengan menggesekkan dengan pisau lain. Ternyata, bunyi itulah yang mereka dengar dari kamar.

“Ibu, apa yang Ibu lakukan?” tanya anak pertama penasaran.

“Ooh, ehm, Ibu sedang menyiapkan sarapan pagi untuk kalian, Sayang,” kata sang ibu palsu tanpa membalik tubuhnya.

“Tapi, ini masih malam, Bu,” ujar anak kedua heran.

“Oh, sebenarnya, Ibu sangat kelaparan. Ibu baru pulang dari perjalanan yang sangat jauh, kan?” kata sang ibu palsu sambil terus mengasah pisau daging.

“Apa yang sedang Ibu masak?”  kata pertama sambil berjalan mendekat, ingin melihat apa yang ada di depan ibu mereka. Namun, sang ibu berusaha menutupi benda yang ada di depannya.

Anak kedua ikut mendekat juga dari arah lain. Sang ibu palsu kembali bergerak ke samping, agar anak kedua tidak bisa melihat. Namun, anak pertama jadi bisa melihat apa yang ada di depan si ibu palsu. Ia sangat terkejut dan berseru,

 “Apa yang Ibu lakukan pada adik kami?!” Anak pertama terbelalak melihat adik bungsunya sedang berbaring di atas meja dapur dalam keadaan terikat.

“Diam!” bentak si ibu palsu sambil menggebrak meja dengan suara berubah menggelegar. Bulu-bulu kasar di tangannya lalu mulai tumbuh lagi.

Ketika si ibu palsu membalik tubuhnya, menengok ke arah kedua anak itu, matanya tampak merah berkilat. Kulitnya berubah menjadi merah, dan dari hidungnya keluar asap. Tubuhnya berubah menjadi raksasa tua jahat lagi. 

Raksasa itu berbalik lalu mengulurkan tangannya untuk menangkap kedua anak itu. Dengan cepat mereka mundur ke arah dinding. Ketika raksasa itu menerjang hendak menangkap mereka, kembali mereka berkelit ke samping, sehingga kepala raksasa itu menabrak dinding rumah.

Dinding rumah pun hancur berlubang. Sementara, kepala raksasa itu terjebak di lubang dinding itu. Dengan marah, raksasa itu meronta dan mengamuk. Ia mencoba menarik kepalanya, namun tidak berhasil. Ia lalu menarik sekuat tenaga, hingga dinding-dinding rumah menjadi retak.

Sementara itu, anak pertama dan anak kedua tak mau membuang waktu. Di saat si raksasa sibuk membebaskan kepalanya, mereka melepas ikatan di tangan adik bungsu mereka. Mereka bertiga lalu berlari secepatnya keluar dari rumah itu.

Ketika sudah berada di atas bukit, cukup jauh dari rumah, mereka menengok ke arah  bawah. Tampak rumah mereka sudah hancur. Dari dalam timbunannya, raksasa tua itu menyeruak keluar, dan berteriak marah. Suaranya menggelegar sampai pohon-pohon tertiup miring, burung-burung berterbangan. Dengan cepat, raksasa itu melompat melewati setengah hutan yang sangat luas.

Ketiga anak itu berlari, berlari, dan terus berlari, hingga mereka tiba di sebuah ladang gandum, di tepi danau. Ketiga anak itu menangis putus asa, sementara bunyi derap kaki raksasa semakin jelas terdengar. Raksasa itu sudah semakin dekat. Ketiga anak itu lalu melihat sekeliling. Mereka melihat sebatang pohon di tepi danau. Pohon itu tinggi menjulang ke langit. Mereka langsung memanjat pohon itu.

Dalam sekali lompatan, raksasa tua itu akhirnya tiba di tepi danau itu juga. Suasana begitu sunyi. Ia melihat ke sekeliling, hendak mencari ketiga anak itu. Namun karena merasa haus, ia menunduk untuk mengambil air danau dulu.

Akan tetapi, tiba-tiba raksasa itu terdiam. Ia melihat sesuatu dari pantulan di permukaan air danau. Ia melihat ketiga anak itu di permukaan air danau. Raksasa tua itu tertawa penuh kemenangan dengan suara menggelegar.  Ia melompat dan  menerjang ke  arah air danau itu. Namun ia tidak berhasil menangkap apa pun. Raksasa itu sangat marah. Ia melihat dari arah mana pantulan itu berasal. Akhirnya ia menemukan ketiga anak itu berada di atas pohon di tepi danau. Raksasa itu pun mulai memanjat pohon itu.

Ketika tahu raksasa itu mulai memanjat pohon, ketiga anak itu meneruskan memanjat pohon. Pohon itu sangat tinggi, namun ketiga anak itu terus dan terus memanjat. Tanpa sadar, mereka bertiga sudah sampai di puncak tertinggi pohon itu. Namun, raksasa itu terus memanjat mengejar mereka.

Anak pertama lalu berteriak sambil menangis, “Dewa Langit, turunkanlah tali dari langit, supaya aku dan kedua adikku bisa lolos dari raksasa jahat itu!”

Sekejap, terbukalah tingkap langit, dan turunlah seutas rantai emas dari langit. Ketiga anak itu lalu memanjati rantai emas itu.

Raksasa itu melihat anak-anak itu meloloskan diri dengan rantai emas pemberian Dewa. Maka raksasa itu pun berteriak juga, “Dewa Langit, berikanlah aku seutas tali untuk mengejar mereka!”

Sekali lagi terbukalah tingkap langit, dan turunlah seutas tali. Raksasa itu pun memanjat, dan memanjat hingga sangat tinggi.

Ketika raksasa itu sudah memanjat sangat tinggi, tiba-tiba terputuslah tali pemberian Dewa Langit. Raksasa jahat itu jatuh menukik ke bumi. BHUMMM!

Bumi bergetar dan raksasa jahat itu mati. Tubuhnya yang merah lalu menyatu dengan tanah di ladang gandum. Oleh sebab itu, akar gandum berwarna merah hingga sekarang.

Ketiga kakak beradik tadi, kini bisa turun dengan aman. Dewa Langit memberikan rantai emas tadi untuk mereka. Mereka berterimakasih pada Dewa Langit, lalu buru-buru pulang ke rumah mereka yang hancur. Di sana, tampak ibu mereka sedang menangis sedih karena mengira anaknya sudah dimakan raksasa.

Betapa gembiranya si Ibu saat melihat ketiga anaknya selamat. Mereka berpelukan bahagia. Sang Ibu berjanji, tak akan meninggalkan ketiga anaknya lagi dalam waktu lama. Ketiga anaknya pun berjanji akan patuh pada pesan ibunya.

Mereka lalu membeli sebuah rumah baru dari hasil menjual rantai emas pemberian Dewa Langit. 













sumber : bobo.grid.id


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan