Cerpen : Bunga Hiasan Kelas

Tata masih heran, mengapa Bu Nurman memilih bunga tapak dara untuk hiasan di depan kelas.    “Padahal bunga mawar lebih cantik,” kata Dinar sambil bersungut – sungut. Tata mengangguk setuju. Bulan Depan, di sekolah mereka ada lomba kebersihan antar kelas. Teman – Teman sekelas Tata tadinya telah sepakat untuk menggunakan hiasan bunga mawar. Kebetulan, di rumah Tata ada banyak bibit bunga mawar. Akan tetapi, Bu Nurma memberi saran agar kelas mereka menampilkan sesuatu yang berbeda. Teman – Teman sekelas akhirnya setuju mengikuti usul Bu Nurma itu. “ Mamamu punya bibit tapak dara, kan, Ta?” tanya Bu Nurma kemarin siang. “Punya, Bu. Koleksi bunga Mama sangat lengkap, sampai – sampai Mama harus membagikan beberapa anakan bunga ke tetangga. Tanaman di kebun belakang kami sudah penuh, “ jawab Tata. 

Wajah Bu Nurma semakin cerah. Keputusannya semakin mantap untuk menggunakan bunga tapak dara sebagai hiasan.                             

“Tanyakan pada mamamu, apakah boleh minta bibitnya untuk kelas kita;” ucap Bu Nurman. Mama Tata dengan senang hati menyumbangkan tanamannya. Ia memberi empat bibit bunga tapak dara beserta satu pohon yang telah tumbuh agak besar. Kuncup – kuncup bunganya telah tumbuh. “ Ini bunganya?” tanya Dunar. Matanya membelalak lebar ketika melihat bunga di tangan Tata. “ Ini, sih, banyak di pinggiran jalan,” timpal Amel kemudian. Mereka benar. Bunga tapak dara memang tidak terlalu istimewa. Bunga ini dapat tumbuh dengan mudah dimana saja. Di sepanjang jalan dari rumah Tata menuju sekolah, ada banyak bunga tapak dara tumbuh di pinggiran jalan.

Namun, Tata mengakui kalau bunga tapak dara memang cantik , Mahkota bunganya berbentuk terompet dan berwarna – warni . Ada yang berwarna putih dengan titik merah di tengahnya. Ada juga yang berwarna ungu, putih , dan merah. Bunga tapak dara dari kebun mama Tata kini berpindah ke kebun sekolah, di dekat kelas Tata dan Dinar. Bu Nurman mengiatkan murid – murid nya untuk merawat bunga setiap hari. “ Main kembang api, yuk ! ajak Dinar sepulang sekolah. Ada penjual kembang api dengan sisa uang saku merekah. “ Kita bakar di sini saja. Kalau ketahuan ibuku bisa gawat, “ kata Amel. Tata dan Dinar mengangguk hampir bersamaan. Sama seperti Amel dan Dinar, Mama juga tidak mengizinkan Tata bermain kembang api. Merekah meminjam korek api dan si penjual, lalu mulai membakar kembang apinya satu per satu.

Bunga – bunga api memercik cantik membuat ketiganya bersorak gembira. Ketiga sahabat itu baru pulang ke rumah masing – masing setelah bermain kembang api. “ kamu main kembang api, Ta?” tanya Mama curiga. Hidung Mama kembang kempis seperti tengah mencium bau yang aneh. “ Engg… engga, kok, Ma” jawab Tata berbohong.

Tangan Mama bersedekap dan menatap Tata penuh selidik. Tata jadi ingin buru – buru masuk kamar. “ Ya sudah, cepat ganti baju sana,” kata Mama, kemudian kembali menuju kebun bunga. Tata menghembus napas lega. Esoknya, sepulang sekolah, Tata, Dinar dan Amel kembali berkumpul di tempat penjual kembang api. Uang patungan sudah terkumpul. Kali ini, cukup untuk membeli dua bungkus kembang api. Bunga – bunga api itu tidak panas, kata Amel. Karena itu Tata pun mencoba untuk memegang percikan – percikan bunga api. Tidak panas, meski Tata merasa sedikit geli ketika mencoba menangkapnya. Tata mencoba sekali lagi. Kali ini lebih dekat dengan tangkai kembang api. Sialnya, telapak tangan Tata menyentuh batang kembang api yang masih menyala.

“Aduh!” pekik Tata keras sekali. Kembang api di tangan kanannya terjatuh ke tanah.                         Tata memandangi telapak tangan kiri yang tadi ia gunakan untuk menangkap percikan bunga api. Kulitnya berwarna kemerahan dan sakit membuat Tata meringis. “ Kita ke sekolah saja, Ta.                    Bu Nurma pasti belum pulang !” ajak Amel dan Dinar yang sama paniknya.

Dengan setengah berlari, mereka menuju sekolah. Bu Nurma masih duduk di meja kerjanya.“ Tata, Dinar, Amel …. Ada apa? ” tanya Bu Nurma. Tata memperlihatkan luka bakar di telapak tangannya. Dengan tergepoh – gepoh, Bu Nurma mengambil sebotol antiseptik di UKS. Diolesnya telapak tangan Tata dengan Rivanol. Bu Nurma lalu bergegas keluar. Telapak tangan Tata semakin terasa sakit, kulitnya juga mulai melepuh.

Tak lama, Bu Nurma kembali membawa segenggam beras dan beberapa lembar daun bunga tapak dara. Dengan cekatan, Bu Nurma menumbuk beras dan daun tapak dara tersebut di atas piring makan dengan sendok. “ Tahan sebentar, ya, Ta “ . ujar Bu Nurma sambil tersenyum. Tata mengangguk. Kini ia mengerti, mengapa Bu Nurma memilih bunga tapak dara di bandingkan bunga mawar. Bu Nurma tidak ingin bunga yang hanya sekedar cantik sebagai hiasan, melainkan bunga yang juga punya khasiat sebagai obat tradisional.  













sumber : majalah bobo edisi 36 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan