Dongeng Anak: Apel Tertawa dan Apel Menangis #MendongenguntukCerdas

 

Bobo.id - Teman-teman tentu sudah tidak asing dengan buah apel, kan?

Buah satu ini identik dengan warnanya yang merah, teksturnya yang renyah, dan rasanya yang manis.

Namun, apakah teman-teman sudah pernah mendengar dongeng tentang apel tertawa dan apel menangis?

Dongeng ini menceritakan tentang seorang pangeran yang dikutuk. Ia jadi jatuh cinta pada apel tertawa dan apel menangis.

Ia mencari berbagai cara untuk bisa menemukan apel tertawa dan apel menangis. Penasaran dengan kelanjutan kisahnya?

Simak dongengnya berikut ini, yuk!

Apel Tertawa dan Apel Menangis

Cerita oleh: Arsip dan dokumentasi Majalah Bobo

Pangeran Bahrom adalah putra tunggal yang sangat dimanja ayahnya, sang raja. Walau ia gagah, pandai memanah, dan bertarung dengan pedang, ayahnya melarang ia pergi jauh dari kerajaan. Larangan ayahnya ini membuat sang pangeran merasa bosan. Ia merasa tidak pernah punya petualangan seru dalam hidupnya.

Suatu hari, Pangeran Bahrom duduk menyendiri di dekat sebuah mata air. Tentu saja mata air itu letaknya tak jauh dari istananya. Ia sedang kesal karena ayahnya lagi-lagi melarangnya pergi jauh. Pada saat itu, datanglah seorang nenek membawa kendi untuk mengambil air.

Pangeran Bahrom yang kesal, melampiaskan kekesalannya pada nenek itu. Ia mengambil batu dan melempar kendi si nenek. Karena ia jago memanah, lemparannya tepat kena sasaran, dan kendi itu pun pecah.

Nenek itu tidak mengatakan apa-apa dan pergi. Ia lalu kembali lagi membawa kendi lain. Pangeran Bahrom kembali melempari kendi itu dengan batu, dan pecah. Nenek itu pergi seperti sebelumnya, dan kembali untuk ketiga kalinya. Pangeran Bahrom kembali melempari kendinya sampai pecah. Pada saat itu, si nenek menatapnya dan berseru,

"Semoga kau jatuh cinta pada Apel Tertawa dan Apel yang Menangis!"

Setelah berkata begitu, nenek itu pun menghilang. Pangeran Bahrom menengok ke segala arah, namun nenek itu benar-benar lenyap bagai asap.

“Hari ini, pengalamanku lain dari biasanya,” gumam Pangeran Bahrom agak ceria.  

Beberapa hari kemudian, kata-kata nenek itu ternyata menjadi kenyataan. Pangeran Bahrom tiba-tiba ingin sekali memiliki Apel Tertawa dan Apel Menangis. Ayahnya, bahkan seisi istana, tak mengerti mengapa pangeran tiba-tiba jadi seperti itu.

“Apa itu apel menangis dan apel tertawa, Bahrom?” tanya sang raja pada putranya.

“Aku juga belum pernah melihatnya, Ayah! Tapi tak tahu kenapa, aku ingin sekali memilikinya!” kata Pangeran Bahrom heran sendiri.

Hari demi hari, Pangeran Bahrom semakin ingin memiliki Apel Tertawa dan Apel menangis. Ia bagaikan jatuh cinta pada kedua apel itu. Ia tidak selera makan, dan hanya melamun di tempat tidurnya. Pangeran Bahrom mulai menyadari, ia telah terkena kutukan si nenek.

Sang Raja mendatangkan berbagai tabib untuk mengobatinya putra tunggalnya. tak ada yang bisa menyembuhkannya.

"Apa yang harus Ayah lakukan padamu?" tanya sang raja putus asa. "Di mana dua apel itu bisa ditemukan?"

Pangeran Bahrom akhirnya berkata, “Ayah, ijinkanlah aku yang mencarinya sendiri, sebab ini terjadi akibat kesalahanku sendiri juga.”

Pangeran Bahrom bercerita tentang kutukan si nenek yang kendinya ia lempari. Dengan berat hati, sang raja akhirnya mengizinkan putra tunggalnya pergi.

“Mungkin ini sudah waktunya kau belajar bertanggung jawab dan mandiri,” kata sang raja sedih.

Pangeran Bahrom akhirnya memulai perjalanannya. Ia naik ke bukit, menuruni lembah, dan berkuda di padang rumput luas. Sampai suatu sore, di saat hari mulai gelap, ia tiba di sebuah mata air. Di tempat itu, ia melihat seorang nenek yang sedang mengambil air. Tidak seperti sikapnya yang sebelumnya, kali ini Pangeran Bahrom menyapa nenek itu dengan ramah,

"Nek, bolehkan saya bermalam di rumah Nenek semalam ini saja? Hari mulai gelap, dan saya tidak tahu harus menginap di mana.”

"Aku hanya memiliki pondok kecil. Saking kecilnya, kalau aku berbaring, kakiku berada di luar pondok. Di mana aku harus meletakkanmu di pondokku itu?” ujar si nenek ketus.

Pangeran Bahrom mengeluarkan segenggam koin emas dan meminta tolong nenek itu mencarikan tempat untuknya. Begitu melihat emas, berkatalah nenek itu,

"Ayolah, anakku, aku punya rumah besar! Kau bisa menginap di tempatku!”

Mereka lalu pulang bersama. Ketika duduk di meja makan, Pangeran Bahrom bertanya, "Katakan padaku, Nek, di mana aku bisa menemukan Apel Tertawa dan Apel Menangis?”

Nenek itu langsung memukulnya, "Diam! Nama itu dilarang disebut!"

Pangeran Bahrom kembali mengeluarkan segenggam koin emas. Mata nenek itu seketika bersinar dan berkata gembira,

"Bangunlah pagi-pagi sekali, dan seberangi gunung di depan rumahku. Di sana kau akan bertemu gembala yang bekerja di istana, tempat Apel Tertawa dan Apel Menangis disimpan. Kalau kau bisa membujuk si gembala, kau bisa masuk ke sana. Tetapi berhati-hatilah! Setelah kau mendapat apel itu, segeralah kembali padaku."

Maka pagi berikutnya, Pangeran Bahrom pergi melintasi gunung. Di sana, ia bertemu dengan seorang gembala yang sedang menggembalakan domba-domba istana. Pangeran Bahrom menyapanya dan bertanya tentang Apel Tertawa dan Apel Menangis. Si gembala segera memukulnya dengan kasar sehingga Pangeran Bahrom hampir terjatuh.

"Jangan sebut nama itu di sini!” serunya marah.

Pangeran Bahrom memohon dengan sungguh-sungguh, dan memberi gembala itu segenggam koin emas. Gembala itu menjadi lebih tenang. Ia berkata,

“Aku punya sehelai kulit domba utuh. Pakailah kulit domba itu dan merangkaklah di antara domba-domba istana. Nanti sore, aku akan mengantar domba ke istana. Kau bisa ikut menyusup ke dalam. Pada malam hari, saat semua orang tertidur, pergilah ke lantai pertama. Lihatlah ke kamar di sebelah kanan.

Di atas rak di dekat tempat tidur, kau akan menemukan kedua apel itu. Apel Tertawa dan Apel Menangis. Jika kau bisa mengambilnya, maka semuanya beres. Jika tidak berhasil, kau ada dalam masalah besar!”

Gembala itu lalu memberikan Pangeran Bahrom sehelai kulit domba utuh. Pangeran segera memakainya dan merangkak di antara domba-domba. Ia berhasil masuk ke halaman istana tanpa ketahuan.

Ketika malam tiba dan semua orang tertidur, Pangeran Bahrom keluar dari kulit domba. Ia merayap hati-hati dan ke lantai pertama. Ia lalu masuk ke ruangan yang ditunjukkan oleh si gembala. Di situ, ada seorang Putri Daria yang sangat cantik sedang tidur nyenyak. Ia adalah Putri Daria, putri tunggal sultan pemilik istana itu.

Putri Daria memiliki rambut keemasan. Pangeran Bahrom takjub melihatnya. Dan pada saat itu, Apel Tertawa yang berada di rak dekat tempat tidur, mulai tertawa. Apel menangis pun mulai menangis.

Pangeran Bahrom sangat terkejut. Ia buru-buru keluar kamar, menutup pintu, berlari kembali ke domba. Keributan kedua apel itu membangunkan Putri Daria. Namun, ia tak melihat ada orang di kamarnya.

“Kalian jangan ribut, ya!” tegurnya pada kedua apelnya. Ia lalu tidur lagi.

Setelah beberapa saat, Putri Daria tertidur sekali lagi. Pangeran Bahrom masuk lagi dan melangkah ke rak tempat kedua apel itu. Namun, kedua apel itu mulai bersuara. Yang satu tertawa dan yang satu menangis. Seperti sebelumnya, Pangeran Bahrom buru-buru keluar kamar.

"Kalian nakal, membangunkan aku terus! Sekali lagi kalian ribut, aku cubit, ya... ” omel Putri Daria pada kedua apelnya. Ia lalu berbaring tidur lagi.

Pangeran Bahrom masuk untuk ketiga kalinya. Ia langsung berlari untuk mengambil apel dari rak. Sekarang kedua apel itu tidak bersuara lagi, karena takut dicubit pemilik mereka. Dengan cepat Pangeran Bahrom keluar dan kembali ke kandang domba.

Ketika fajar menyingsing, gembala menggiring kawanan domba ke gunung. Pangeran Bahrom ada di antara domba-domba itu. Setiba di padang rumput, sang pangeran keluar dari kulit domba dengan lega. Ia memberi gembala itu segenggam koin emas lagi.

Pangeran Bahrom kembali ke rumah si nenek dengan gembira. Nenek itu tampak lega, namun ia lalu sibuk mengisi baskom yang sangat besar dengan air. Ia lalu membuat memasukkan bubuk pewarna kuning ke dalam baskom. Sebilah papan panjang ia letakkan juga di atas baskom besar itu.

“Tidurlah di atas papan ini!” perintahnya pada Pangeran Bahrom.

Walau bingung, Pangeran Bahrom menuruti perintah nenek itu.

Sementara itu, Putri Daria terbangun. Ia kaget karena kedua apelnya hilang.

"Celaka! Apel-apelku dicuri. Tiga kali mereka membangunkan aku, tetapi aku tidak mengerti dan malah memarahi mereka! Oh, apel-apelku!” tangis Putri Daria.

Berita itu sampai ke telinga Sultan, ayah sang putri. Sultan segera memerintahkan agar gerbang kota segera ditutup. Prajuritnya disuruh mencari pencuri kedua apel itu ke seluruh penjuru kerajaan. Namun mereka tidak menemukannya.

Sultan lalu memanggil peramal. Si peramal melihat di bola kristal ajaibnya. Ia lalu berkata,

“Sultan, saya melihat si pencuri apel saat ini ada di sebuah kapal di lautan darah. Dia pasti sudah pergi sangat jauh. Kita tidak tahu di mana letak lautan kuning seperti itu."

Sang sultan akhirnya menyerah, karena merasa tak ada kesempatan untuk menangkap si pencuri. Ia memerintahkan agar gerbang kota dibuka lagi. Mendengar pengumuman itu, Pangeran Bahrom memberikan si nenek beberapa koin emas lagi. Ia lalu melanjutkan perjalanan pulang ke istana ayahandanya.

Di tengah jalan, Pangeran Bahrom bertemu dengan seorang nenek penjual kalung manik-manik.

“Tolong beli kalung manik-manikku, Tuan. Sudah beberapa hari tidak ada orang yang beli pekerjaan tanganku ini,” kata nenek itu.

Pangeran Bahrom melihat kalung-kalung dengan manik-manik indah. Ia heran karena tak ada orang yang membelinya.

“Ini koin emas untukmu, Nek. Tolong pilihkan kalung manik-manik yang terindah untukku,” kata Pangeran Bahrom sambil memberikan segenggam koin emas.

Nenek itu tampak gembira. Dari keranjangnya, ia mengambil sebuah kotak indah dan membukanya. Di dalamnya, ada seuntai kalung manik-manik kecil yang panjang dan sangat indah.

“Ini kalung manik-manik istimewa. Ceritakanlah isi hatimu pada kalung ini. Lalu kirimkanlah pada seorang gadis yang kau cintai. Maka, ketika gadis itu mengusap kalung ini, manik-manik ini akan menceritakan kembali ceritamu itu,” kata si nenek.

Pangeran Bahrom menerima kalung itu dengan wajah masih bingung. Ia ingin bertanya lagi, namun nenek itu sudah menghilang. Pangeran Bahrom kembali melanjutkan perjalanannya.

Ketika ia tiba di istana ayahnya, sang sultan sangat gembira. Ia memeluk putra tunggalnya dan menangis gembira.

Setelah mendapatkan Apel Tertawa dan Apel Menangis, Pangeran Bahrom mengira hatinya akan gembira. Namun, ternyata ia tetap merasa sedih. Ternyata, diam-diam ia teringat pada Putri Daria yang cantik. Pangeran Bahrom merasa bersalah juga telah mencuri kedua apel itu. Di saat itu, Pangeran Bahrom teringat pada kalung manik-manik yang dibelinya.

Sambil memegang kalung itu, Pangeran Bahrom menceritakan isi hatinya. Tentang kutukan yang ia terima, sehingga ia terpaksa mencuri kedua apel Putri Daria. Ia juga bercerita tentang keindahan rambut Putri Daria yang keemasan.

Pangeran Bahrom lalu mengirim utusan untuk mengantarkan kalung itu pada Putri Daria. Sang putri meraba kalung itu dan ia sangat terkejut. Dari kalung itu, keluar suara yang menceritakan isi hati Pangeran Bahrom. Kini Putri Daria tahu, siapa pencuri kedua apelnya.

Sang utusan lalu bertanya, apakah Pangeran Bahrom diijinkan untuk mengunjunginya, untuk mengembalikan kedua apel itu. Putri Daria mengizinkan.

Maka, Pangeran Bahrom pun datang ke istana Putri Daria. Sang putri sangat terkejut, karena pencuri Apel Tertawa dan Apel Menangis, ternyata seorang pangeran yang tampan.

Beberapa waktu kemudian, Pangeran Bahrom dan Putri Daria menikah. Mereka hidup bahagia. Pangeran Bahrom terlebih bahagia, karena ia sudah merasakan petualangan seru. Ia berjanji, tak akan bersikap tidak sopan lagi pada orang yang lebih tua.

#MendongenguntukCerdas












sumber : bobo.grid.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan