Cerpen : Cerita Pisang Goreng

 





Cerita Pisang Goreng

Oleh: Tyas K W

 

“Wah, buah pisangmu hampir masak.” Rizki menunjuk tandan pisang yang mulai berwana hijau tua. “Mau dipetik sore ini?”

“Belum. Besok saja.” Dani tersenyum lebar. Dani membayangkan ia akan makan pisang goreng. Nikmat. Air liurnya hampir menetes.

“Sebaiknya pisangnya dipetik nanti sore saja, Dan,” ujar Rizki dengan serius.

Dani heran. Ia mau bertanya. Tapi Rizki sudah berlari ke sekolah. Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Dani pun segera berlari menyusul Rizki.

Dani baru enam bulan pindah ke kampung Talang. Ayah Dani kali ini ditugaskan di Riau. Kampungnya ada di pinggir jalan raya. Tapi sisi lain kampung itu berbatasan dengan hutan. Kadang Dani melihat elang terbang melayang di langit. Kera pun terkadang tiba-tiba sudah duduk di tepi jalan. Bahkan kata Rizki, gajah pun lewat di kampung mereka. Dani bergidik. Seram, pikirnya.

Sabtu pagi itu, Dani beranjak menuju pohon pisangnya. Pisangnya sudah hampir matang. Ia tak sabar hendak memotongnya. Tapi ibu memanggilnya.

“Dani, tolong antarkan telur ayam kampung ini ke mak Evi ya. Ada lima butir,” ibu mencegatnya. “Ini pesanan mak Evi kemarin.”

Rumah mak Evi hampir di ujung jalan. Dani pun segera berlari mengantar telur itu. Ia ingin segera kembali untuk memotong pisang.

Mak Evi sedang membuat bolu pisang, ia sudah menunggu telurnya datang. Dani lalu membantu menghaluskan pisang. Ia ingin tahu cara membuat bolu pisang. Mak Evi sibuk membuat adonan dari telur dan gula pasir. Lalu mak Evi menambahkan tepung, mentega dan pisang yang dilembutkan.

“Wah, repot ya mak. Aku lebih suka buat pisang goreng saja,”ujar Dani. “Tinggal dicelup, digoreng, lalu dimakan. Lezat.”

Mak Evi pun tertawa mendengarnya. Mak Evi memasukkan adonan ke loyang. Lalu Dani pun pamit pulang, ia ingat, ada latihan bola hari itu.

Di lapangan bola, Dani segera bergabung dengan teman-temannya yang sudah tiba lebih dulu. Ia harus banyak berlatih karena masih baru di tim itu. Apalagi, Dani bermain sebagai pemain sayap, tugasnya memberi bola umpan. Ia harus dapat memberikan umpan yang baik ke pemain penyerang.

Menjelang sore, Dani dan teman-temannya berhenti latihan. Dani sungguh capek. Udara di Riau sangat panas. Ini karena Riau dekat dengan khatulistiwa.

“Heh… heh… Rizki, besok pagi ke rumah ya,” Dani berkata dengan terengah-engah. “Kita makan pisang goreng istimewa.”

Rizki dan teman-temannya bersorak senang. Ya, tentu saja semua mau makan pisang goreng. Mereka lalu sibuk membereskan peralatan sepak bolanya sambil bercanda riang. Tak lama kemudian, mereka pulang ke rumah masing-masing. Mereka tidak mau kemalaman di jalan.

Dani pun bergegas pulang. Dani melewati jalan tembus agar cepat sampai di rumah. Di tepi jalan Dani melihat ada jejak yang tidak biasa. Jejak telapak kaki itu bulat dan besar. Di sebelahnya, juga ada telapak bulat yang lebih kecil. Aneh, pikir Dani.

“Jejak kaki siapa ya? Kok bulat?” Dani meletakkan telapak tangannya di atas jejak itu. Jejak itu lebih lebar dari telapaknya. Dani melihat sekelingnya. Sepi. Hari pun mulai gelap. Dani jadi merinding. Ia merasa seram, ia pun berlari sekencang-kencangnya.

Dani segera masuk rumah. Dani lalu teringat untuk memeriksa pohon pisangnya. Tapi, ia tak mau jalan ke kebun belakang. Ia masih merasa seram. Ia menjulurkan kepalanya keluar pintu belakang. Ia menengok ke arah pohon pisang. Dan tampaklah setandan pisang yang sudah ranum. Ia sebenarnya ingin memotong pisangnya sore itu. Tapi hari sudah gelap, pikirnya. Lagipula ia masih sedikit ketakutan. Dani mengurungkan niatnya untuk mengambil tandan pisang dari pohonnya.

Pagi itu, Rizki datang lebih awal. Ia akan membantu Dani menggoreng pisang. Berdua mereka berjalan ke kebun belakang. Mereka tertawa-tawa membayangkan makan pisang goreng.

Tapi, aduh, Dani dan Rizki terkejut melihat pohon pisangnya. Mereka terperangah. Pohon pisangnya berserakan. Jangan ditanya kemana buah pisangnya. Lenyap. Hanya ada beberapa jejak kaki bulat. Mirip jejak kaki yang Dani lihat kemarin sore.

Dani memandang pohon pisangnya. Mulutnya ternganga. Ia tak mengerti kenapa pohon pisangnya roboh. Tiba-tiba Rizki tertawa terpingkal-pingkal. Ia menunjuk jejak kaki yang bulat itu.

“Gajah,” ujarnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Rupanya, gajah-gajah itu sudah menghabiskan bukan hanya buah pisang tapi juga beberapa bagian pohon. Ya, gajah memang suka pisang. Dan mereka tahu pisang yang masak. Gajah bisa mencium aromanya. Dani pun akhirnya hanya tersenyum hampa. Gagal makan pisang goreng, pikirnya kesal.









sumber : www.google.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan