DONGENG : Serunai Batang Padi

 



Negeri Tanah Hijau yang diperintah Raja Tan Sati adalah negeri yang subur. Di mana-mana terdapat hamparan kebun dan sawah. Negeri-negeri tetangga bahkan mendapat beras dari Negeri Tanah Hijau ini. Namun sayang, di negeri yang subur ini justru banyak terdapat pengemis dan gelandangan. Penduduk yang kaya lebih senang berhura-hura dan mengadakan pesta. Tidak ada yang mempedulikan orang miskin di sekitar mereka. Keadaan demikian berlangsung terus bertahun-tahun.

Malin adalah salah satu penduduk miskin di Negeri Tanah Hijau. Kerjanya menjual kayu bakar. Pada suatu hari, Malin datang ke rumah Pak Lodan yang kaya raya.

"Pak Lodan, apa Bapak mau membeli kayu-kayu bakarku ini?" ujar Malin.

"Hmm, bagaimana kalau kutukar dengan dua genggam beras? Kalau kau tak mau, bawa saja lagi kayu bakar itu. Aku bisa menyuruh pembantuku mencarinya sendiri ke hutan!" ketus Pak Lodan angkuh.

"Baiklah. Tak apa ditukar dengan dua genggam beras," kata Malin mengalah.

Pak Lodan lalu menyuruh pembantunya memberikan dua genggam beras yang buruk.

Malin adalah tukang kayu yang rajin. Walau kakinya pincang sebelah, dia mencari kayu bakar di hutan. Kadang ia menyabit rumput untuk makanan ternak, atau menjaga padi di sawah dari gangguan burung-burung. Ia kemudian menerima upah berupa beras.

Namun upah yang diterimanya biasanya sangat sedikit. Ada-ada saja alasan orang-orang kaya itu.

"Aku bisa saja melepas temakku di padang yang berumput subur! Tak perlu ada yang menjaga," kata pemilik ternak sambil memberi segenggam beras.

"Burung-burung itu tak akan bisa menghabiskan semua padi di sawahku! Tak ada yang menjaga juga tak apa-apa!" alasan pemilik sawah sambil memberi segenggam beras. Malin menerimanya dengan ikhlas.

Siang itu Malin pulang ke gubuknya di tepi hutan besar. Hari itu Malin mendapatkan beberapa genggam beras. Perutnya sudah lapar. Tiba-tiba Malin melihat seorang tua tergeletak di pinggir jalan setapak. Malin mendekat untuk menolongnya.

"Siapakah engkau, Pak Tua?." Tanya Malin.

"Aku pengembara miskin. Aku kehabisan bekal. Berhari-hari aku tidak makan. Aku sudah mencoba memintanya pada orang-orang kaya itu. Tidak ada yang sudi memberikan makanan sisa sedikit pun," jawab pengembara tua itu lemah.

"Sudahlah Pak Tua. Aku punya sedikit beras. Mari ke gubukku," ucap Malin tulus. Kemudian tubuh Malin yang kurus itu memapah pengembara tua ke gubuknya. Langkah mereka pelan dan tertatih-tatih.

Sesampai di gubuknya, Malin memasak beras yang didapatnya hari itu.

"Jangan dimasak semuanya. Sisakan segenggam untuk persediaan nanti," nasihat pengembara tua. Malin mematuhinya walau sedikit heran. Setelah itu mereka makan dengan nikmat meskipun seadanya.

"Pak Tua, hanya ini yang dapat aku suguhkan. Aku tidak dapat memberimu lebih banyak. Aku tidak kuat bekerja keras. Tubuhku lemah dan kakiku pincang," kata Malin.

"Aku bersyukur masih ada yang mau menolongku. Tapi aneh! Negeri ini sangat subur dan makmur. Namun tak ada yang peduli pada orang-orang miskin. Anak muda, sudah saatnya aku melanjutkan perjalanan. Tenagaku sudah pulih kembali. Terimalah serunai ini sebagai tanda terima kasihku."

Pengembara tua itu memberikan sebuah seruling kecil yang terbuat dari batang padi kepada Malin. Orang-orang di Negeri Tanah Hijau menyebutnya serunai.

"Gunakanlah untuk 'mengusir dan memanggil," nasihat pengembara tua itu. Tiba-tiba pengembara tua itu lenyap sebelum Malin sempat mengucapkan terima kasih.

Beberapa saat kemudian, Negeri Tanah Hijau dilanda bencana kekeringan. Berbulan-bulan hujan tidak turun. Sungai dan danau kering kerontang. Tanaman padi di sawah diserang hama belalang dan mati kekeringan. Persediaan padi di lumbung-lumbung penduduk kaya dimakan hama tikus. Persediaan beras kerajaan pun sudah habis. Hewan ternak banyak yang mati terserang wabah penyakit aneh. Dalam sekejap wabah kelaparan melanda Negeri Tanah Hijau. Penduduk kaya menjadi miskin dan kelaparan. Mereka menangisi harta benda, sawah ladang, dan hewan ternak mereka.

"Malapetaka ini disebabkan perbuatan kita sendiri. Kita terlalu kikir dan tidak mempedulikan orang-orang miskin di sekitar kita," ujar Penasihat Kerajaan. "Tapi aku melihat dalam mimpiku. Ada seorang berkaki lumpuh yang akan menyelamatkan negeri ini." Tidak sulit untuk menemukan pemuda berkaki lumpuh di Negeri Tanah Hijau. Malin dipangggil ke istana. Selama wabah kelaparan melanda, Malin tidak pernah kehabisan bahan makanan. Karena secara ajaib beras yang disisakannya waktu itu tidak pernah habis dimasak.

Malin teringat nasihat dan serunai yang diberikan pengembara tua itu. Malin meniup serunai itu.

Terdengar suara merdu mengalun ke seluruh pelosok negeri. Tiba-tiba muncul ribuan ekor burung pemangsa belalang. Tikus-tikus di lumbung berlarian masuk hutan. Tak lama kemudian hujan pun turun dengan lebatnya. Penduduk bersorak bahagia. Negeri Tanah Hijau telah bebas dari bencana.

Penduduk kaya kini berjanji tidak akan kikir lagi. Malin diangkat menjadi Penasihat Pertanian Kerajaan. Negeri Tanah Hijau kembali subur. Penduduknya hidup makmur dan saling menyayangi





















Sumber : bobo.grid.id

Cerita oleh: Palris Jaya-Ipal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan