CERPEN : Rahasia Sepatu Hitam
Pak Dewo tinggal di sebuah kota kecil. Ia adalah seorang pembuat sepatu yang terkenal. Sepatu buatan tangannya sangat rapi, kuat, dan nyaman di kaki pemakainya. Itu sebabnya, walau tinggal di kota kecil, Pak Dewo selalu banjir pesanan sepatu. Orang-orang dari berbagai kota datang khusus ke toko Pak Dewo untuk memesan sepatu.
Setiap hari, Pak Dewo duduk di bengkel kerjanya dengan palu di tangan. Terdengar bunyi tok tok tok… ketika palunya memukul paku-paku dengan rapi di sekeliling sol sepatu. Bunyi-bunyi itu sungguh ceria di telinga Pak Dewo. Ia juga suka mencium aroma bahan kulit sepatu dan karet solnya.
Hari ini, Riana datang ke bengkel kerja Pak Dewo. Ia ingin mengambil sepatu baletnya yang mungkin sudah selesai diperbaiki Pak Dewo. Riana masuk ke ruangan kecil di sebelah bengkel Pak Dewo. Di ruangan bagai galeri kecil itu, terdapat beberapa rak sepatu. Tampak berderet berbagai macam sepatu yang sudah selesai dibuat Pak Dewo.
Riana melihat deretan sepatu itu dan mencoba menebak, siapa saja pemilik sepatu itu. Ada sepatu pesta bapak-bapak, sepatu wanita gemuk yang tanpa hak dan bagian sisinya agak membulat, ada pula sepatu wanita berhak tinggi dan lancip. Riana tahu, sepatu berhak lancit itu disebut stileto.
Di rak yang lain, ada sepatu but untuk petani menginjak lumpur di sawah, ada sepatu beralas paku-paku untuk bermain bola, ada pula sepatu sandal bertali warna cerah untuk remaja.
Di pojok kanan atas rak yang gelap, ada sepasang sepatu berwarna hitam. Riana memerhatikannya baik-baik. Hak sepatu itu tampak besar dan kokoh. Sepatu itu seperti terlupakan di sudut atas rak
“Sedang lihat apa, Riana?” sapa Pak Dewo yang tahu-tahu sudah berada di ruangan itu.
Riana agak terkejut. Namun ia tersenyum pada Pak Dewo dan menunjuk ke sepatu berhak kokoh tadi.
“Itu sepatu siapa, Pak Dewo?” tanya Riana.
Pak Dewo melihat ke atas rak itu dan tersenyum, lalu bercerita.
“Dahulu kala, sepatu itu milik seorang gadis cantik bernama Conchita Miguela Dolores Roviera. Ia sangat pandai menari Flamenco, tarian dari Spanyol. Ibu Conchita memang berasal dari Andalusia, Spanyol. Tarian itu diiringi oleh nyanyian, musik gitar, hentakkan kaki, tepukan tangan dan jentikan jari.”
Menurut Pak Dewo, di kota tempat mereka tinggal itu, hanya Conchita yang bisa menari tarian Flamenco. Itu sebabnya, Conchita sering diundang untuk menari memeriahkan pesta. Malam demi malam dia menari dan berputar di lantai pesta dengan menghentak-hentakkan hak sepatu hitamnya. Jari-jarinya bergerak lincah sambil memegang kipas.
“Hak sepatu itu dibuat khusus untuk penari flamenco. Bagian depan sol sepatu dan sol di hak sepatunya diberi banyak paku, sehingga kepala-kepala paku menutupi permukaan sol. Kepala-kepala paku di sol sepatu itu membuat sepatu berbunyi nyaring ketika dihentak ke lantai,” cerita Pak Dewo.
Riana membayangkan bagaimana Conchita Miguela Dolores Roviera menari dengan indah bagai burung flamingo berbulu indah.
Setelah beberapa lama dipakai, sepatu Conchita biasanya akan rusak di bagian solnya. Maka Conchita akan membawa sepatunya ke tempat Pak Dewo
“Selama beberapa hari, biasanya aku akan duduk memaku paku-paku baru di sol sepatu Conchita. Dengan demikian, bunyi dari sol sepatunya akan nyaring lagi. Aku senang sekali menonton Conchita menari dengan bagus memakai sepatu buatanku,” kata Pak Dewo.
“Apa Pak Dewo masih memperbaiki sepatu Conchita sekarang ini? Dimana penari itu tinggal? Dimana Conchita biasanya menari? Aku ingin sekali menonton tarian flamenconya,” tanya Riana penasaran.
Pak Dewo tertawa geli dan itu membuat Riana bingung.
“Kenapa pak Dewo tertawa?” tanya Riana.
“Aku kan sudah bilang, itu terjadi dulu. Bertahun-tahun yang lalu,” kata Pak Dewo.
Suatu hari, Conchita memutuskan untuk pensiun dan tidak menari lagi. Jadi dia menyimpan sepatu, syal dan kipasnya. Ia lalu membeli tanaman-tanaman bunga cantik di pot-pot indah. Ia juga membeli piring-piring dan gelas-gelas porselen. Sekarang, Conchita sang penari sudah menjadi istriku, Bu Conchita Dewo…”
Riana membelalak kaget.
“Jadiii… Bu Dewo adalah Conchita sang penari flamenco?”
Pak Dewo mengangguk dengan bangga.
“Lalu, sepatunya akan diapakan?” tanya Riana lagi.
“Viera anakku, sekarang baru berusia lima tahun. Setelah dia besar nanti, sepatu itu akan diberikan padanya. Ibunya sudah mulai mengajarinya tarian flamenco,” kata Pak Dewo sambil tersenyum bahagia.
Pak Dewo lalu menyelesaikan jahitan pita di sepatu balet Riana.
“Nah, sudah selesai. Belajarlah menari yang tekun, supaya bisa lebih hebat dari Bu Dewo dulu…” pesan Pak Dewo.
Riana menerima sepatu baletnya sambil mengangguk penuh tekat. Ya, ia akan terus berlatih agar bisa menjadi penari yang hebat.
Sumber : bobo.grid.id
Cerita oleh: Dok. Majalah Bobo. Ilustrasi: Irman
Komentar
Posting Komentar