DONGENG : Le dan Dewa Guntur

 Le Yun Hao dan Hsia Ping Tzu adalah dua anak laki-laki yang tinggal di desa yang sama. Mereka tumbuh besar, belajar membaca dengan guru yang sama, dan berteman sangat akrab.

Hsia sangat pintar, dan selalu juara sejak usia 10 tahun. Le tidak merasa iri. Ia justru bangga pada temannya itu. Hsia dengan senang hati membantu teman Le belajar sehingga Le juga maju pesat. Hal ini membuat Hsia terkenal di desanya. Sayangnya Hsia tidak sempat ikut ujian negara karena ia jatuh sakit dan meninggal dunia.

Keluarga Hsia sangat miskin dan tak mampu membayar pemakaman. Le membayar semua biaya itu. Ia juga membiayai kehidupan istri dan anak-anak Hsia. Istri Hsia sangat percaya pada Le. Nama Le juga harum di desa itu, walau ia tidak berhasil dengan pelajaran sekolahnya.

"Menyebalkan!" teriak Le kesal karena tidak lulus ujian. “Orang cerdas seperti Hsia saja gagal, apalagi aku! Sampai matipun aku tak akan menjadi sarjana.  Aku harus mencoba hal lain!”

Jadi Le berhenti sekolah dan mulai berdagang. Enam bulan kemudian ia memiliki sedikit uang. Suatu hari, ketika ia sedang beristirahat di sebuah penginapan di Nanking, ia melihat seorang pria bertubuh besar masuk ke penginapan. Pria itu duduk sendirian di dekat Le, dan wajahnya sangat muram.

Le yang baik hati menyapanya dan bertanya apakah dia lapar. Karena pria itu tidak menjawab, Le mendorong beberapa piring makanannya ke arah pria besar itu. Pria itu segera melahap semua makanan dengan tangannya dan dalam waktu singkat semua makanan habis.

Le memesan makanan lain, dan sekali lagi pria besar itu melahapnya sampai tuntas. Le memesan ayam kalkun dan sejumlah kue rebus. Setelah makan setengah lusin, barulah nafsu makan pria itu mereda.

Ia baru menoleh pada Le dan berterima kasih karena kebaikan hati Le.

"Selama tiga tahun saya belum pernah makan seperti tadi," katanya.

"Tapi, tubuhmu sangat besar dan sehat. Kau juga sopan dan baik. Mengapa kau bisa sangat miskin?” tanya Le heran.

“Ini mungkin sudah nasibku,” kata pria besar itu.

“Kau tinggal dimana?” tanya Le.

"Di darat saya tidak punya rumah. Di atas air, tidak punya perahu. Di pagi hari aku ada di desa. Pada malam hari, di kota seperti ini.”

Le kemudian bersiap untuk pergi. Namun teman barunya tidak mau meninggalkannya. Ia mengikuti Le dan berkata,  

“Kau berada dalam bahaya yang akan segera terjadi. Aku tidak akan  melupakan kebaikanmu dan akan menjagamu,” katanya.

Jadi mereka pergi bersama. Dalam perjalanan, Le mengajak ia untuk makan lagi bersamanya. Namun pria besar itu menolak.

“Aku hanya makan sesekali,” katanya.

Le semakin kagum pada pria besar itu

.Keesokan harinya, mereka berlayar dengan kapal di sungai. Sebuah badai besar muncul dan membalik beberapa kapal di sungai. Le sendiri terlempar ke air bersama penumpang lain. Tiba-tiba angin kencang mereda dan pria besar itu menarik Le di punggungnya dan menaikkan Le ke kapal lain yang tidak terbalik.

Pria besar itu lalu menyelam ke air dan menarik kembali kapal yang hampir tenggelam. Ia memindahkan Le lagi ke kapal itu dan memintanya tetap diam di sana.

Dia kemudian menyelam sekali lagi, dan muncul dengan membawa barang-barang dagangan Le di dalam pelukannya. Ia terus bolak-balik menyelam sampai semua barang kembali pada tempatnya.

Le berterima kasih kepadanya, berkata, “Saya sudah sangat berterimakasih kau telah menyelamatkan hidupku. Tapi, kau juga telah  menyelamatkan barang-barang daganganku. Tidak ada yang hilang sama sekali. Luar biasa!”

Le mulai curiga.. Jangan-jangan pria besar itu bukan manusia biasa. Le memintanya untuk tetap bersamanya ketika orang itu pamit untuk pergi. Akhirnya pria besar itu setuju untuk tetap menemani Le.

Di saat itu, Le menyadari bahwa pin emasnya hilang. Di saat itu juga, pria besar itu kembali menceburkan diri ke air. Ia lalu naik ke permukaan dengan benda yang hilang di mulutnya. Ia berikan benda itu pada Le dan berkata ia sangat senang bisa memenuhi permintaan Le. Orang-orang di kapal sangat heran dengan apa yang mereka lihat.

Le lalu pulang ke rumah bersama temannya itu. Pria besar itu tinggal bersama Le. Ia hanya makan sekali dalam sepuluh atau dua belas hari, tetapi saat makan, nafsu makannya sangat luar biasa.

Suatu hari, pria besar itu pamit pergi, namun Le tidak setuju. Ketika itu, hujan baru saja turun dan terdengar bunyi guntur. Sambil berbaring di bale-bale dan melihat ke langit, Le bertanya,

“Seperti apa sebetulnya awan itu? Seperti apa bentuk guntur itu? Ah, andai saja aku bisa naik ke langit dan melihat-lihat, sehingga bisa tahu.”

"Apakah kau ingin bersantai di antara awan?" tanya pria besar itu.

Belum sempat Le menjawab, tiba-tiba ia merasa dirinya berputar di udara. Ia kini tidak lagi merasa seperti sedang berbaring di bale-bale.

Le melihat ke sekelilingnya. Ah, kini ia berada di antara awan. Di sekelilingnya ada lapisan atmosfir yang lembut. Le melompat dengan sangat waspada. Ia merasa pusing seolah-olah berada di laut.

Di bawah kaki Le seperti ada  benda lembut, tidak seperti tanah di bumi. Di atasnya ada bintang-bintang, dan ini membuat Le berpikir ia sedang bermimpi. Saat  melihat ke atas, Le sadar kalau ia ada di langit. Awan-awannya beraneka bentuk, besar dan kecil.

Saat mengangkat tangannya, Le bisa menyentuh bintang-bintang yang besar. Ia berhasil memilih bintang yang kecil dan menyimpan di kantong bajunya. Le kemudian membelah gumpalan awan di bawahnya dan mengintip ke bawah. Ia melihat laut berkilauan seperti perak.

Kota-kota besar tampak hanya sebesar kacang. Le berpikir, jika kakinya  tergelincir dan jatuh, pasti akibatnya parah sekali.

Kini, Le melihat dua ekor naga menggeliat, dan menarik gerobak dengan tong besar di dalamnya. Setiap gerakan ekor mereka terdengar seperti bunyi cambuk yang mencetar. Tong itu penuh dengan air, dan tampak beberapa pria mengangkat tong itu dan memercikkan airnya di atas awan.

Orang-orang ini tercengang melihat Le, namun pria besar itu berseru, “Dia temanku!”

Kemudian mereka memberi Le sendok untuk membantu mereka memercik air keluar. Saat itu, musim kemarau yang sangat kering. Le hati-hati memegang sendok itu, dia berhati-hati untuk memercik air sehingga agar bisa jatuh di sekitar rumahnya sendiri.

Pria besar itu akhirnya bercerita pada Le bahwa ia sebetulnya Dewa Guntur. Dia dihukum selama tiga tahun akibat lalai mengurus hujan. Hukumannya baru saja berakhir.

“Sekarang, inilah waktunya kita untuk berpisah,” kata pria besar yang adalah Dewa Guntur itu.  

Ia lalu mengambil tali panjang yang tadi digunakan untuk tali kekang gerobak. Le mencengkeramnya erat-erat, agar dia bisa diturunkan ke bumi. Le takut sekali, tetapi Dewa Guntur berkata itu tidak bahaya. Dia lalu menurunkan Le.

Sesaat kemudian, Le sudah berada di desa kelahirannya lagi dalam keadaan selamat. Tali itu lalu ditarik lagi ke awan dan tidak kelihatan lagi.

Selama itu, kekeringan di negeri itu telah berlanjut cukup panjang. Hujan yang turun hanya sedikit. Namun di desa Le, mata air selalu menyembur banyak.

Ketika sampai di rumah, Le mengeluarkan bintang dari kantongnya. Ia  meletakkannya di atas meja. Tampak kusam seperti batu biasa, tetapi pada malam hari, bintang  itu menjadi sangat cemerlang dan menerangi seluruh rumah Le.

Le sangat menyayangi bintang itu dan menyimpannya dengan hati-hati. Ia hanya membawanya keluar jika ada tamu datang dan menjamu makanan di luar rumah.

Bintang itu selalu bersinar terang. Namun suatu malam, saat Le sedang duduk bersama istrinya, cahaya bintang itu mulai meredup, hanya bagai api unggun.

Mereka sangat terkejut  ketika tiba-tiba cahaya kecil bintang itu terbang melayang. Lalu, dengan cepat cahaya kecil itu melesat masuk ke dalam mulut istri Le. Istri Le bisa merasakan cahaya bintang itu melewati tenggorokannya.

Istri Le mencoba untuk batuk tetapi cahaya itu tidak keluar juga.

Malam itu Le bermimpi bahwa teman lamanya Hsia muncul di hadapannya dan berkata,

“Akulah bintang Shao-wei. Persahabatan kita tak kunjung usai walau aku sudah tak ada. Sekarang pun, kau telah telah membawaku kembali dari langit. Sesungguhnya takdir kita telah dirajut bersama. Aku akan membalas kebaikanmu dengan menitis menjadi putramu.”

Le berumur tiga puluh tahun tetapi belum punya putra. Namun, setelah mimpi itu, istrinya hamil. Sembilan bulan kemudian, istrinya melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka menamakannya Bintang.

Bintang tumbuh menjadi pemuda yang sangat pintar. Pada usia enam belas tahun, ia berhasil meraih gelar sarjananya.  






Sumber : bobo.grid.id

Cerita oleh: Dok. Majalah Bobo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan