DONGENG : Dumdum si Keledai

 Dumdum adalah keledai terkecil dan tergemuk di sebuah pantai wisata. Oo, dia juga keledai yang terlamban. Jalannya sangat pelan.

Pantai wisata itu sering dikunjungi wisatawan anak-anak. Biasanya, anak-anak akan berlari ke pasir pantai sambil membawa uang. Mereka akan memberikan uang mereka pada Pak Didot yang menjaga keledai-keledai tunggangan di pantai itu.

Anak-anak itu biasanya akan berebutan untuk mendapatkan keledai tunggangan yang larinya paling cepat. Sambil memberikan uang, mereka biasanya berteriak,

“Aku tidak mau naik Dumdum. Dia paling kecil, paling gemuk, dan paling pelan!”

Anak-anak itu biasanya akan berebutan memilih salah satu dari lima keledai yang tersedia di tempat penyewaan itu. Mereka lalu melompat naik ke punggung keledai pilihan mereka.

Dumdum, si keledai keenam, biasanya akan ditinggal begitu saja, tetap tertambat di kayu tambatan.

Dumdum yang malang biasanya hanya bisa menghembus napas sedih. Ia lalu menatap kelima teman-temannya yang berlarian di sepanjang pasir pantai. Betapa ingin ia bersama mereka namun ia tak pernah dipilih.

Seharian, biasanya Dumdum hanya menghabiskan waktunya di pos penyewaan keledai tunggangan. Hanya Pak Didot yang menemaninya sambil melempar kerikil di laut.

Suatu hari, ada seorang ibu datang membawa anaknya yang masih kecil. Anak kecil itu bertubuh kurus dan tampak kurang sehat.

“Tio, lihat keledai kecil itu. Dia kelihatannya kesepian,” kata ibu itu. “Apa kau ingin mengendarainya?”  

Anak kecil bernama Tio itu menggelengkan kepalanya. Ia memegang tangan ibunya erat-erat. “Nanti aku dibawa lari kencang-kencang. Aku takut,” kata Tio.

“Jangan takut dulu. Ayo, kita tanya pada pak penjaganya,” ajak ibu Tio. Maka mereka pun menghampiri Pak Didot.

“Apakah keledai yang ini aman untuk ditunggangi anakku? Dia sedang kurang sehat dan ingin menunggang keledai yang tenang dan tidak liar,” kata ibu Tio.

Pak Didot tertawa mendengar perkataan ibu Tio.

“Jangan takut, Bu! Si Dumdum malah terlalu aman. Tak ada anak yang mau menungganginya karena dia berjalan terlalu pelan,” kata Pak Didot.

“Oo, kalau begitu, dia malah cocok untuk anakku!” kata ibu Tio, lalu mengangkat Tio ke atas sadel Dumdum.

Dumdum lalu berjalan pelan dan hati-hati di pasir pantai, membawa Tio. Mereka berdua suka bergerak pelan, menikmati bunyi kerikil yang terinjak dan ombak yang menerpa pantai. Mereka juga menikmati suara camar laut dan merasakan hangatnya sinar matahari di punggung mereka.

Di tengah jalan, mereka bertemu keledai-keledai lain yang sedang berlari pulang.

“Lihat! Itu dia si keledai gemuk yang lamban!” teriak anak-anak yang menunggangi teman-teman Dumdum.

Anak-anak itu lalu memacu keledai-keledai mereka sehingga membuat keributan. Keledai-keledai itu meringkik kencang dan menghentakkan kaki kencang-kencang ke pasir pantai. Keributan itu membuat camar-camar laut terbang menjauh.

“Aku gembira kamu tidak seperti mereka, Dumdum,” kata Tio sambil menepuk lembut leher Dumdum.

“Aku juga senang karena kamu tidak mamacu aku untuk berlari cepat,” bisik Dumdum.

Tak lama kemudian, Dumdum kembali ke pos penyewaan bersama Tio. Ibu Tio menunggu dengan wajah berseri.

“Apa kamu senang mengendarai Dumdum?” tanya ibu Tio sambil menolong Tio turun.

“Aku senang sekali, Bu. Aku ingin mengendarai Dumdum lagi,” kata Tio ceria.

“Tentu saja kamu boleh mengendarai Dumdum lagi. Ibu sudah membayar biaya mengendarai Dumdum pada Pak Didot. Selama seminggu liburanmu ini, kamu akan bersama Dumdum setiap pagi,” kata Ibu Tio.

Tio mendekati Dumdum dan menyentuh lembut hidungnya.

“Aku akan datang lagi besok pagi,” bisik Tio. “Aku akan datang setiap pagi dan membawakan permen untukmu karena kamu sangat baik…”

“Hiii… haaaa… hiii… haaa…” seru Dumdum girang. Artinya, “Terima kasih banyak, Tio!”








Sumber : bobo.grid.id

Cerita oleh: Lintang. Ilustrasi: Dok. Majalah Bobo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan