DONGENG: Kisah Si Caspar

 Dahulu kala, hiduplah seorang ibu yang bernama Aleah di tepi hutan. Ia memiliki dua anak beranama Mehran dan Hava. Suatu hari, Bu Aleah pergi ke hutan mencari buah-buahan. Ia sangat terkejut ketika menemukan seorang anak laki-laki yang terlantar di tengah hutan.

Bu Aleah membawa anak itu pulang dan menamakannya Caspar. Ia mengasuh Caspar bagai anak kandungnya sendiri. Namun Mehran kurang menyukainya dan menjuluki Caspar dengan sebutan Bodoh. Itu karena Caspar tidak banyak bicara, lamban, dan lemah.

“Hei, Bodoh! Ayo, ikut aku menanam benih di ladang hari ini!” ajak Mehran suatu hari. Namun seperti biasa, Caspar tidak menjawab. Ia hanya berbaring di depan perapian. Mehran kesal padanya.

Pada suatu hari, Mehran harus membajak sawah sampai malam hari. Ia meminta ibunya untuk memasak makan malam untuknya. Lalu, ia meminta Hava mengantarkan makanan itu ke sawah pada sore hari.

Di sekitar sawah itu, tinggallah Siluman Berkepala Tiga. Agar tidak tertangkap siluman, Mehran menggambar peta jalan di sepotong kulit domba.

“Lewatlah jalan ini, supaya kau tidak melewati rumah Siluman Berkepala Tiga. Ingat, jangan salah memilih jalan,” kata Mehran.

Sore hari tiba. Hava berangkat membawa makan malam untuk kakaknya. Akan tetapi, di tengah jalan, Hava berpapasan dengan seekor ular kobra. Hava lari terbirit-birit. Akhirnya, ia tersesat. Ia mencoba melihat peta yang digambar Mehran, namun ia tak tahu saat itu ia berada di mana. Hava malah melewati rumah Siluman Berkepala Tiga.

Siluman itu menangkap Hava dan memasukkannya ke dalam kerangkeng. Hava menangis ketakutan.

“Aku akan menangkap dua manusia lagi, supaya bisa memanggang tiga manusia sekaligus,” gumam Siluman Berkepala Tiga.

Sementara itu, Mehran gelisah karena Hava belum datang juga. Ia segera pulang. Bu Aleah memberi tahu bahwa Hava telah berangkat sejak sore hari.

“Jangan-jangan, dia melewati jalan ke rumah siluman,” pikir Mehran.

Ia segera berlari ke arah Siluman Berkepala Tiga. Di tengah jalan, ia bertemu penjual roti yang menawarinya roti. Karena lapar, Mehran langsung melahap roti itu. Namun seketika tubuhnya menjadi kaku. Ternyata, penjual roti itu adalah Siluman Berkepala Tiga yang menyamar dan memberinya roti beracun. Siluman itu memasukkan Mehran ke kerangkeng di rumahnya.

Sementara itu, Bu Aleah gelisah karena Mehran tidak juga pulang membawa Hava. Caspar yang tadinya hanya berbaring, pelan-pelan bangkit berdiri. Ia pelan-pelan mengibas debu di bajunya.

“Bu, ijinkan aku mencari Kak Mehran dan Kak Hava,” bisiknya pelan.

Bu Aleah melihat Caspar dengan tidak tega. Anak angkatnya itu memang tampak bodoh dan lamban.

“Anakku, jangan meninggalkan Ibu. Sekarang, tinggal kamu satu-satunya anak Ibu,” mohon Bu Aleah.

“Aku akan mencari kedua kakakku, Bu. Lalu membasmi siluman itu…” bisik Caspar lagi. Ia lalu membuka pintu, dan berlari secepat kilat.

WHUSSSH… Angin kibasan kakinya bertiup membanting pintu rumah yang terbuka. Bu Aleah terkejut, karena Caspar menjadi kuat. Saat berlari melewati sawah, debu-debu di sekitar sawah beterbangan bagai angin badai. Para petani berlari pulang karena takut badai datang. Mereka meninggalkan mata bajak mereka di ladang.

Caspar mengumpulkan semua mata bajak itu dan membawanya ke pandai besi. Ia meminta pandai besi itu membuat tombak besi yang kuat dari mata bajak yang dilebur.

“Tombak itu harus sangar kuat. Kalau aku lempar ke udara dan jatuh ke jari kelingkingku, tombak itu harus tetap utuh,” ujar Caspar.

Pandai besi itu heran mendengarkan perkataan Caspar. Namun ia segera bekerja membuat tombak dari leburan mata bajak. cCaspar langsung mencoba kekuatan tombak itu. Ia melemparnya jauh ke udara. Namun, ketika tombak itu jatuh ke jari kelingkingnya, tombak besi itu pecah berantakan.

“Astagaaa… kau kuat sekali, Caspar…” seru si pandai besi terkejut.

Pandai besi itu lalu melebur lagi tombak itu, dan mencampurnya dengan semua persediaan baja terbaiknya. Tombak besi yang kedua itu tampak sangat kuat. Caspar mencobanya lagi. Dan tombak itu tetap utuh ketika jatuh ke kelingkingnya. Caspar puas dan berterimakasih pada si pandai besi. Ia lalu berlari ke arah rumah Siluman Berkepala Tiga. Caspar muncul di depan rumah si siluman dan berteriak, “Hei, siluman! Cepat lepaskan kedua saudaraku!”

Siluman Berkepala Tiga heran, karena ada manusia yang berani kepadanya. Namun ia gembira, karena mendapatkan korban ketiga. Siluman itu segera mengambil tombaknya dan melempar sekuat tenaga ke arah Caspar. Caspar menangkis dengan jari kelingkingnya. Seketika tombak itu hancur.

“Sekarang giliranku,” seru Caspar. Ia melemparkan tombaknya sekuat tenaga. Tombak itu mengenai tubuh si siluman. Seketika, siluman itu berubah menjadi asap dan lenyap di udara.

Caspar segera membuka kerangkeng tempat Meihan dan Hava ditahan. Mereka bertiga berpelukan penuh haru. Betapa gembiaranya Bu Aleah melihat ketiga anaknya pulang dengan selamat.

Caspar akhirnya bercerita kalau ia anak peri hutan. Ketika ibunya dimakan oleh Siluman Berkepala Tiga, Caspar jadi tinggal  sendirian di hutan. Sejak kecil, Caspar sudha tahu kalau ia sangat kuat. Itu sebabnya, ia takut bergerak berlebihan karena khawatir akan melukai keluarga angkatnya.

Sejak hari itu, Caspar tidak lagi dijuluki si Bodoh oleh Meihan. Ia juga tidak dimarahi jika hanya berbaring santai di rumah. Caspar dimintai tolong hanya untuk tugas yang sangat berat, seperti menebang pohon atau membajak sawah.

 

 

Sumber: Majalah Bobo Edisi 49 |11 Maret 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan