CERPEN: Koki Einstein
Mama Jenar sedang bertugas ke luar kota. Papa Jenar bekerja di rumah sejak Covid-19 melanda dunia. Itu sebabnya, papa Jenar bisa sempat membuat kue sifon di dapur. Kali ini, Jenar sangat percaya, kue sifon papanya pasti enak. Jenar jadi teringat, peristiwa tahun lalu, ketika belum ada wabah Covid-19. Begini kisahnya…
Suatu hari, mama Jenar ditugaskan ke luar kota. Jenar
langsung panik.
“Tidak bisa diubah jadwalnya, Ma?” rayu Jenar sambil
menarik lengan baju mamanya. Mama menggeleng, sambil sibuk memasukkan buku ke
dalam tas kerjanya.
“Ini sudah kedua kalinya Mama ditugaskan ke luar kota.
Yang pertama sudah mama tolak waktu Jenar sakit. Kalau Mama tolak lagi,
bisa-bisa Mama dipecat!”
“Tapi, Ma, ini juga penting. Nanti siapa yang temani
Jenar besok?”
“Papa kan bisa,” jawab mamanya.
“Ah… Papa tidak bisa masak, Ma. Masak mie instan saja,
kebanyakan airnya!” protes Jenar.
Jenar masuk kamar dengan kesal. Tanpa berlomba pun,
besok sudah pasti kalah, gerutunya dalam hati. Pagi-pagi, papanya ternyata
sudah bangun. Jenar mempersiapkan alat dan bahan yang akan dibawa dengan lesu.
“Cek ulang ya, Jenar. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Ada otak Einstein dan
catatan berisi pembuatan dan resep. Hari ini kita pasti menang!” seru papanya
bersemangat sambil mengacungkan buku catatannya.
Hari itu, di sekolah Jenar akan berlangsung lomba
membuat kue bolu bersama mamanya. Tak disangka, menjelang lomba, mamanya malah
ditugaskan ke luar kota. Papanya adalah seorang ilmuwan, masuk ke dapur saja
jarang. Bagaimana bisa papanya membantu Jenar membuat kue bolu? Huh…rasanya
Jenar malas berangkat ke sekolah.
“Terigu, gula, susu bubuk, cokelat, mentega, soda kue…
Mana soda kuenya, Jenar?” tanya papanya.
“Di kotak plastik, Pa, bersama kacang dan cokelat
chip,” Jenar membuka kotak plastik, tetapi tidak menemukan bungkusan soda kue
di dalamnya.
Jenar mulai panik.
“Tadi Jenar sudah memasukkannya, Pa! Aduh, masa
ketinggalan. Gimana ini? Nanti bolunya enggak bisa mengembang tanpa soda kue?”
“Tidak ada waktu lagi untuk pulang atau beli soda kue.
Kita manfaatkan yang ada. Jangan khawatir. Saatnya bikin rencana cadangan,”
papanya menggosok kedua tangan dan sigap membuka catatan.
Meski papanya terlihat percaya diri, Jenar tetap
cemas. Ketika perlombaan dimulai, Jenar dan papanya mulai membagi tugas.
“Jenar mencairkan mentega, menimbang dan mengayak
tepung. Papa mengurus telur dan gula,” papa menggulung lengan kemejanya, lalu
mulai memecahkan telur. Kuning telut dipisahkan dengan putihnya. Jenas memandang
cemas sekaligus heran.
“Bukan begitu caranya waktu Jenar berlatih bersama
mama. Telur dikocok sama gula sampai mengembang. Lalu tambahkan mentega, soda
kue yang sudah diayak dengan tepung. Papa bikin resep yang mana? Nanti kuenya
bisa mengembang? Ini bukan percobaan kimia, Pa…” suara Jenar gemetar. Jenar
sudah putus asa melihat cara kerja papanya.
“tenang saja, bisa kok mengembang tanpa soda kue. Lebih
lembut malahan,” jawa papanya yakin sambil menyalakan mixer.
Jenar menggigit bibir, memandang adonan yang dibuat
papanya dengan hati berdebar. Putih telur yang dikocok papanya berubah menjadi
adonan yang kaku. Papanya membalik wadahnya, lalu tersenyum lebar ketika adonan
itu tidak jatuh.
“Modifikasi resep. Bikin sifon cake.”
“Lombanya ini bikin kue bolu, Pa. Kok malah bikin kue
sifon. Sudah kalah, deh,” omel Jenar sambil cemberut.
“Sifon cake dan kue bolu, sama saja, kok. Yang beda cuma
cara bikinnya. Satu pakai soda kue, satu bebas soda kue. Putih telur dikocok
sampai kaku, baru masukkan tepung. Mengaduknya harus hati-hati supaya udara
tetap ada. Jadi, tanpa soda kue, bolunya nanti tetap mengembang,” papanya
menjelaskan sambil memasukkan terigu ke dalam adonan putih telur.
Jenar diam saja, hanya bisa pasrah melihat papanya
mengocok putih telur dengan mixer. Sepuluh menit kemudian, adonan sudah siap. Jenar
mempersiapkan oven dan memasukkan loyang berisi adonan kue bolu. Tiga puluh
menit waktu untuk memanggang dirasakan Jenar seperti berjam-jam lamanya. Bolak-balik
Jenar mengintip sambil berharap-harap cemas.
Ketika papanya membuka oven, jantung Jenar berdetak
kencang, takut kuenya menjadi bantat.
“Taraa… cantik mengembang,” papanya tersenyum lebar.
Adonan yang tadi dimasukkan Jenar ke dalam oven sudah
berubah menjadi kue bolu yang cantik. Permukaannya cokelat keemasan dan mengembang
dengan sempurna. Jenar mengembuskan napas lega, matanya berbinar-binar. Meski demikian,
ketika memindahkan bolu ke piring saji, Jenar masih bertanya denga cemas, “Enggak
akan meletus, lalu jadi bantat, kan, Pa?”
Tawa papanya meledak, “Enggak dong, ini resep anti
gagal. Sekarang bolunya siap dihias.”
Jenar langsung bergerak cepat. Mengolesi boly dengan
krim dan menambahkan butiran cokelat serta keju.
“Selesai!” seru Jenar dan papanya berbarengan.
“Sekarang, saatnya menunggu penilaian. Papa yakin
menang. Kue bolu kita pasti lembut dan lezat.”
Jenar hanya tersenyum tipis, berdebar-debar ketika
juri mencicipi kue bolu mereka.
Ketika kepala sekolah mengumumkan pemenang, Jenar menggenggam
tangan papanya erat-erat sambil memejamkan mata. Dag…dig…dug…jantungnya
berdebar kencang. Begitu mendengar namanya disebutkan sebagai pemenang, Jenar
melompat dan tertawa riang.
“Papa, kan sudah bilang, kita pasti menang!”
“Tentu saja! Kalau Einstein yang memasak, siapa yang
bisa mengalahkan!” kata Jenar sambil memeluk papanya.
Jenar
tersenyum sendiri mengingat peristiwa lomba membuat kue bolu di sekolahnya itu.
Jenar berharap agar Covid-19 segera berlalu. Ia rindu mengikuti lomba-lomba
seru yang diadakan sekolahnya.
Sumber: Majalah Bobo
Edisi 48 | 3 Maret 2021
Komentar
Posting Komentar