Bu Gerti melihat sebuah rumah di pohon saat sedang berjalan kembali dari lembah. Betul-betul tempat yang indah untuk kami tinggali pikirnya. “Aku lelah mendengar nenek yang mengeluh tentang betapa sesaknya Sarang Lorong kami yang di bawah tanah. Kami akan pindah besok!” pikir Bu Gerti. Ketika anggota keluarga lain mendengar rencana Bu Gerti, mereka berkata, “Kamu tak bisa tinggal di pohon!” teriak Bu Grasi kelinci. “Memangnya ada apa dengan Sarang Lorong Bawah Tanah ini?” tanya Pak Gog kelinci. Oo oooh, Bu Gerti tak peduli lagi pada protes mereka. Ia sudah yakin. Ia dan keluarganya akan pindah. Ia akan membawa pindah keenam anaknya; Jeri, Susi, Mabel, Joni, Marti dan Teri ke rumah pohon. Ternyata, enam anaknya suka akan tempat itu. Tempat itu tampak modern dan nyaman karena ada pintu dan dua jendela. “Indah sekali pemandangannya,” kata Jeri. “Aku bisa melihat sepupu kita yang sedang bermain di padang rumput!” kata Susi. “Mereka pasti iri melihat kita di atas pohon,” ka...
Obat Bosan dari Nenek Oleh: Widya Suwarna Ayah dan Ibu belum pulang dari kantor. Mbak Asti dan Mas Pur pergi kuliah. Kawan bermain Lili, Oni sedang sakit kuning. Vita, tetangga sebelah sedang pergi ke rumah saudaranya. Nah, tinggal Lili dan Mbok Nah yang ada di rumah. Mbok Nah sibuk menyetrika. Lili merasa kesal dan bosan. PR sudah selesai. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Biasanya dia bisa bermain dengan Vita atau Oni. “Sudah, tidur saja Li!” usul Mbok Nah. “Ah, orang tidak mengantuk disuruh tidur!” Lili menggerutu. “Atau main ke rumah Dede? Biar Mbok antarkan!” Mbok Nah menawarkan. “Malas ah, rumahnya jauh. Biasanya jam empat begini dia belum bangun. Dia ‘kan harus tidur siang setiap hari!” Lili menolak. Tiba-tiba Lili mendapat gagasan. Dia pergi ke kamar Ibu dan menelepon Nenek. Sesudah bercakap-cakap sejenak, Lili mulai mengeluh, “Nek, kalau tiap hari begini Lili bisa mati. Bosannya setengah mati. Vita pergi, Oni sakit. Di rumah tak ada siapa-siapa!” “Wah, wah, jangan...
Betapa senangnya saya melihat Riki, adiknya Heru, teman sekolah saya. Anak laki-laki itu baru berumur delapan tahun. Lincahnya bukan main. la selalu nampak ceria. Sifatnya itu mungkin yang membuat saya jatuh sayang padanya. Sifat yang tak saya temui pada adik saya sendiri, Dani. Tentu saja saya sayang pada Dani, walau ia pendiam dan pemalu. Cuma, menurut saya, apa salahnya kalau ia bisa menyamai Riki. Adik teman saya itu laki-laki yang hebat! Kalau saya bermain ke rumah Heru dan teman saya itu tidak ada, saya tak merasa rugi. Dengan Riki pun, saya betah bermain. Anak ini cepat bisa permainan yang saya ajarkan. la tak canggung atau takut kalah bermain dengan anak sebesar saya. Riki juga tidak cengeng. Kadang kala, eh ... malah sering, saya membanding-bandingkannya dengan Dani. Padahal Mama tak setuju dengan sikap saya itu. "Kalau Adi melihat segi yang baik dalam diri Riki, semestinya Adi melihat yang baik pula dalam diri Dani!" kata Mama pada saya."Sehingga Adi tidak b...
Komentar
Posting Komentar