CERPEN: Roda Kehidupan - Felita Vania Subrata


                Mentari bersinar terang seakan menantiku ari mimpi indah di pagi hari. Cahaya mentari yang seakan-akan menusuk mataku. Udara dingin yang memelukku di pagi hari. Kulihat butiran-butiran embun pagi yang menentes membasahi helai demi helai daun di halaman rumahku. Telah kulihat sarapan tersaji di meja. Aku ingin segera beranjak dari trmpat tidurku yang empuk. Namun seolah-olah selimut menarikku untuk tetap terlelap. Dengan sepenuh tenaga dan harapan baru, aku bangkit dari kemalasanku. Segera kusiapkan diriku untuk berangkat menuntut ilmu. Aku selalu menerima pertolongan dari supirku untuk membawakan barang bawaanku.
Di perjalanan aku melihat keadaan jalan belum ramai oleh hiruk pikuk kendaraan. Burung-burung berkicau seolah-olah menyapaku di pagi hari. Akupun terlarut dalam suasana tersebut sampai tak sadar bahwa aku sudah sampai di depan sekolah. Kuberdiri di depan gerbang sekolah, berhenti sejenak untuk menuai harapan dan mimpi baru. Kulangkahkan kaki untuk menuju ke kelas. Kupandang keadaan di sekitarku, sepi bagai langit tanpa bintang. Koridor sekolah yang gelap menambah suasana keheningan di pagi itu. Tanpa kusadari, aku telah sampai di kelas. Aku duduk di kursi paling belakang sambil merenung. Sebenarnya aku memiliki sifat manja dan sombong. Aku hanya memilih teman yang sederajat denganku. Tak lama kemudian satu persatu temanku berdatangan. Bel masuk pun berbyni, membisingkan telinga. Pelajaran dimulai, aku selalu bersemangat, itulah kebiasaanku. Pagi berganti siang pelajaran demi pelajaran telah kuikuti. Bel pulangpun berbunyi membuat hatiku gembira.

                Mobil mewah yang menjemputku telah terparkir di depan sekolah. Pak Sopir hanya diam membisu. Seakan-akan ada sesuatu yang janggal telah terjadi. Sesampainya di rumah, aku hanya merasakan kesunyian. Seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Namun aku melihat sesuatu dari kejauhan, sepucuk surat dari ibu untukku, yang berisi:
“Karmila, maafkan ibu karena harus pergi mendadak, karena kantor sedang mengalami masalah kau diam saja di rumah menunggu ibu datang. Doakan agar hal buruk tak terjadi. (dari Ibu untuk Karmila)

Setelah membaca surat itu, aku hanya menganggap itu hal biasa yang sering terjadi dalam masalah kantor. Sepanjang waktuaku hanya membuang-buang waktu dengan bermain HP. Terdengar suara pintu gerbang yang dibuka. Ku hanya diam tanpa memperdulikan hal itu. Memang ibu tak suka bercerita denganku sejak ayah pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Dengan tubuh yang lemah ibu masuk menuju kamar. Setelah beberapa lama aku merasa aneh dengan keadaan ibuku di kamar. Dengan cepat kuhampiri kamar ibu, hal yang tak terdugapun terjadi ibuku tak sadarkan diri. Dengan cemas segera kuhubungi rumah sakit. Aku mendampingi ibuku di ambulance dengan menangis terisak-isak. Setelah sampai di rumah sakit ibuku langsung dilarikan ke ACU. Kulihat banyak sekali selang yang terpasang di tubuh ibu. Ku menangis sejadi-jadinya tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Pada siapa aku dapat bersanda? Akuhanya memendam rasa ini dalm-dalam. Menanti dan menanti itulah yang kulakukan sekarang. Aku berfikir, bagaimana jika ibu sudah tidak bekerja lagi/ bagaimana jika ibu akan meninggalkanku?
Sebaiknya aku tidak memikirkan hal itu. Kubunag jauh-jauh pikiran itu.

Tak lama kemudian dokterpun keluar dengan muka putus asa. Aku langsung menghampiri dokte dengan berbagai pertanyaan. Dokter hanya terdiam, dan beberapa saat kemudian dokte itupun menjawab dengan singkat, yaitu “maaf”. Aku tercengang dan mengguncang-guncang tubuh dokter yang hanya terdiam. Dokter itupun melanjutkan perkataannya “maafkan nak, para medis disini sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan ibu anda yang terkena serangan jantung”. Aku merasa terpukul dan hanya bisa menangis menyesali apa yang telah terjadi., Seharusnya aku bisa menikmati dan memaafkan deik demi detik, menit demi menit terakhir bersama ibu.

                Setelah kuselidiki masalah yang terjadi di kantor ibu, ternyata ibu mengalami kebangkrutan. 10 hari kemudian setelah aku sudah benar-benar sendiri. Aku bingung harus pergi kemana lagi. Rumah sudah tidak punya, akupun mengunjungi teman-teman yang selama ini menemaniku. Tetapi mereka tidak mau menerimaku. Karena aku sudah tak sekaya dulu. Sejak ibu meninggal aku sudah putus sekolah, dan tubuhku kurus karena kurang asupan gizi yang baik. Cara satu-satunya unu membiayai hidupku adalah mengamen. Aku merasa malu karena sekarang aku telah menjadi gelandangan yang tidur din pinggir jalan beralaskan kardus bekas. Tapi apa boleh buat kehidupan harus terus berjalan.
Dengan muka kotor, badan dekil dan baju bau, aku mulau mengamen menyusuri jalan dan menghampiri dari satu mobil ke mobil lain. Sekarang teman-teman menjauhi daru. Tak ada lagi tempat untuk berbagi cerita. Semua kenangan indah itu telah hilang bagai matahari tertutup awan. Sebenarnya aku tak bisa hidup dalam keadaan seperi ini. Karena tak ada yang membantuku lagi. Namun apa boleh buat, hanya ini yang dapat kulakukan untuk bertahan hidup. Hari ke harikujalani dengan beban berat di punak.

                Namun aku merasa masih ada segelintir orang yang memperdulikanku.Ada salah satu keluarga yang sering memberiku uang karena merasa iba. Lama kelamaan aku mengenal lebih jauh tentang keluarga itu. Sepertinya menyenangkan jika memiliki anggota keluarga yang lengkap. Karena kondisiku semakin memprihatinkan. Aku mulai diajak untuk ke rumahnya. Disana aku merasa nyaman seperti keluarga sendiri. Aku mulai tinggal di situ. Aku diangkat menjadi bagian dari keluarga mereka. Aku merasa bahagia walaupun hidup dengan sederhana, tak ada HP, AC maupun laptop. Tapi aku mulai menyesuaikan  diri dengan keadaan itu dan sekarang aku mulai bersekolah kembali walaupun di tempat yang berbeda dengan sekolahku yaang dulu, dan akupun mulai belajar untuk menerima teman apa adanya. Mulai detik ini aku mau menghargai waktu walaupun hanya sebentar. Karena hal itu tak bisa terulang.



Karya dari Felita Vania Subrata
Kelas VIII

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan