Dongeng : Tidak Adil
Jing Hua baru saja selesai mengikuti ujian di ibu kota kerajaan. Ia seorang pelajar perguruan tinggi yang rajin dan cerdas. Kini Jing Hua dalam perjalanan pulang kembali ke desanya.
Jarak yang ditempuh cukup jauh. Pakaian Jing Hua sampai lusuh dan berlapis debu. Ia juga merasa sangat haus karena air di botol minumnya telah habis. Untunglah, tak lama kemudian Jing Hua melihat sebuah kelenteng.
Jing Hua tahu, di kelenteng itu selalu ada penjaganya. Penjaga kelenteng bertugas menyambut tamu yang berkunjung. Ia juga biasanya menyediakan teh hangat dan kue untuk tamu kelenteng. Tamu yang datang ke kelenteng biasanya untuk berdoa, atau sekadar beristirahat dari perjalanan jauh.
Jing Hua pun singgah di kelenteng itu. Ia ingin melepaskan lelah dan minum teh bunga krisan yang hangat untuk menyegarkan tubuh. Ketika Jing Hua melangkah masuk ke dalam kelenteng, petugas penjaga kelenteng itu datang mendekat. Bukannya memberi salam menyambut Jing Hua, penjaga kelenteng itu malah hanya melirik dengan ujung mata. Itu karena ia melihat pakaian Jing Hua yang lusuh dan berdebu.
“Pak, saya sedang dalam perjalanan pulang. Perjalanan saya masih jauh. Saya hanya ingin menumpang di sini sebentar dan meminta sedikit teh hangat. Apakah Bapak tidak keberatan?” kata Jing Hua sopan.
"Oo, cuma mau istirahat! Huh, silakan saja!" sahut si penjaga dengan nada ketus.
"Terima kasih, Pak," Kata Jing Hua tetap sopan.
Jing Hua masuk dan duduk di lantai kelenteng. Kakinya yang lelah bisa beristirahat sekarang. Jing Hua berharap penjaga kelenteng akan membawakan teh hangat untuknya. Namun, la ternyata disuguhi secangkir teh dingin. Tak ada kue sederhana juga. Namun Jing Hua tetap berterima kasih dan tidak mengeluh.
Belum lama Jing Hua duduk, datanglah seorang bapak berpakaian sutra halus. Tentu bapak itu sangat kaya karena pakaiannya saja sangat mahal. Penjaga kelenteng tadi datang terburu-buru menyambut bapak itu. la membungkuk sangat dalam dengan penuh hormat.
"Mari, silakan masuk, Tuan," sambut penjaga kelenteng itu.
Jing Hua diam-diam memerhati-kannya. Penjaga kelenteng itu menyuguhkan teh krisan hangat yang aromanya sangat wangi. Ia juga membawakan kue-kue manis yang membuat Jing Hua merasa lapar.
Tak lama kemudian, bapak berpakaian indah itu pergi. la tak lupa memberikan beberapa koin perak untuk penjaga kelenteng itu. Si penjaga kelenteng berterima kasih sambil berkali-kali membungkuk dalam-dalam.
Melihat kejadian itu, tahulah Jing Hua mengapa ia diperlakukan dengan ketus. Itu karena Jing Hua berpakaian lusuh dan tampak miskin. Sedangkan bapak berpakaian sutra tadi, sudah pasti punya banyak uang, Jing Hua segera mendekati penjaga kelenteng itu dan menegur sikapnya yang tidak adil tadi.
"Pak, melayani orang itu harus adil. Jangan membeda-bedakan antara si kaya atau si miskin," nasihat Jing Hua.
Penjaga kelenteng itu terkejut dan kesal mendengar teguran Jing Hua. la pun berkilah dengan senyum mengejek,
"Saya tidak membeda-bedakan, Nak. Harusnya kamu tahu kalau di kelenteng ini ada peraturan. Kalau dilayani dengan buruk, itu artinya sedang dilayani dengan baik. Kalau dilayani dengan baik, itu artinya dilayani dengan buruk."
Jing Hua tertawa mendengarnya. Namun tiba-tiba ia mencubit kencang-kencang pipi penjaga kelenteng itu.
"Aaaaa...lepaskan! Kenapa kau mencubit pipiku?!" teriak penjaga kelenteng itu kesakitan.
"Wah, wah, harusnya Bapak tahu kebiasaan para pelajar. Buat para pelajar seperti saya dan teman-teman saya, mencubit pipi itu artinya berterima kasih. Kalau tidak mencubit pipi, itu artinya tidak berterima kasih!" ujar Jing Hua dengan wajah serius.
"Jadi, sekali lagi, terima kasih untuk teh dinginnya," ujar Jing Hua sambil mencubit pipi penjaga kelenteng itu lagi.
"Aaaaa...." teriak si penjaga sambil mundur menghindar.
Jing Hua tertawa geli dan keluar dari kelenteng itu. la melanjutkan perjalanannya pulang ke kampungnya. Sementara si penjaga kelenteng mengusap pipinya yang merah dan pedih. la malu juga karena mendapat teguran dan pelajaran dari seorang pelajar biasa.
Komentar
Posting Komentar