Cerpen : Mandai, si Kulit Cempedak

“Enak sekali.” Aini berkata sambil mencomot lagi satu biji cempedak. Aida, kakak Aini, mengangguk setuju. Tante Riska membelikan mereka buah cempedak. Buah cempedak mirip dengan nangka. Buahnya lebih kecil dari nangka. Bentuk buah cempedak biasanya lonjong dan panjang.

 Aroma cempedak itu khas sekali. Cempedak disimpan Tante Riska di dalam lemari.  Waktu pulang sekolah, Aini dan Aida mencium aroma cempedak. Mereka mengendus di mana sumber wangi itu. Mereka menemukannya di lemari.

Tante Riska mengupas cempedak buat Aini dan Aida. Mereka malas mengupasnya sendiri karena getah cempedak sangat banyak.

“Sudah habis ya, Kak.” Aini mengorek ke bagian dalam cempedak. Tidak ada lagi buah cempedak di sana.

“Sudah habis, Ai. Buang kulitnya,” kata Aida.

“Lho? Kok Aini yang buang kulitnya? Kakak kan juga makan tadi?” Protes Aini dengan wajah cemberut.

“Kamu makan yang paling banyak.” Aini nyengir mendengar jawaban kakaknya. Dia pun mengambil kertas koran dan memegang kulit cempedak dengan kertas koran. Aini tidak mau tangannya kena getah cempedak. Aini sudah sampai di depan keranjang sampah.
“Aini, jangan dibuang.” Sebuah suara membuat tangan Aini terhenti. Kulit cempedak masih di tangannya.

“Kulit cempedak jangan dibuang. Itu enak dijadikan lauk.” Tante Riska mengambil kulit cempedak dari tangan Riska.

“Lauk?” Aini dan Aida berseru bersamaan. Kulit cempedak dijadikan lauk. Bagaimana bisa? Mereka berpandangan dengan wajah heran.

“Tante tunjukin caranya,” kata Tante Aida sambil melangkah ke dapur. Aini dan Aida mengikuti Tante Riska.

Di dapur, Tante Riska membentangkan Koran yang tadi digunakan Aini buat memegang kulit cempedak dan menaruh kulit cempedak di atas Koran tersebut.
“Pertama, kupas dulu kulit luarnya.” Tante Riska mulai mengupas kulit luar dari kulit cempedak. Aini dan Aida memperhatikan. Aini melihat banyak getah yang menempel di tangan Tante Riska.

“Getahnya nempel tuh di tangan Tante.” Aini menunjuk tangan Tante Riska.

“Kan bisa dihilangkan dengan minyak goreng nanti,” ujar Tante Riska sambil terus mengupas.
“Nah, sudah selesai.” Tante Riska menunjukkan hasilnya. Kulit cempedak bagian luar sudah dikupas. Tinggal bagian yang putih saja. Tante Riska kemudian mengoles minyak ke tangannya. Juga ke pisau yang tadi digunakan. Setelah itu Tante Riska membasuhnya dengan air. Kemudian Tante Riska memakai sabun tangan. Dan membilas tangannya dengan air lagi.
“Sudah bersih dan enggak ada getah kan?” Tante Riska menunjukkan tangannya. Aini dan Aida mengusap tangan tante Riska. Tidak ada lagi getah di sana.

“Selanjutnya apa, Tante?” Tante Riska membawa baskom berisi kulit cempedak yang putih. Sementara kulit luarnya sudah dibuang ke keranjang sampah.

“Ini dicuci bersih dulu,” ujar Tante Riska. Tangannya lincah mencuci kulit cempedak di bawah air mengalir.
“Setelah selesai, kulit cempedak dikasih garam sedikit.” Tante Riska menaburkan garam pada kulit cempedak.

“Sudah selesai, Tante?” Aida bertanya saat Tante Riska memasukkan kulit cempedak ke dalam wadah tertutup.

“Sudah. Besok baru bisa dimakan.” Aini dan Aida mengangguk. Mereka tak sabar menunggu besok. Mereka ingin mencicipi kulit cempedak itu.
Esoknya Tante Riska muncul di meja makan dengan tersenyum riang. Membawa sepiring sesuatu yang baru dilihat Aini dan Aida. Ada wangi cempedak yang masih tercium di sana.

“Ini kulit cempedak kemarin, Tante?” Tante Riska mengangguk.

“Namanya mandai. Tadi Tante oseng-oseng dengan bawang iris dan cabe. Enak banget.” Tante Riska menelan ludahnya. Seperti sudah terbayang akan kelezatan mandai yang dimasaknya. Aini dan Aida pun semangat mau mencoba.

“Wah, ada mandai.” Tiba-tiba mama datang dan bergabung bersama mereka bertiga.
“Mandai ini makanan kesukaan mama. Dulu di rumah nenek di Banjarmasin mama sering makan.” Mama menjelaskan. Tante Riska juga bilang kalau mandai itu memang terkenal di Kalimantan Selatan, kampung halaman mama dan tante Riska.

“Suka enggak?” Tante Riska bertanya setelah Aini dan Aida mencicipi mandai. Sementara mama sudah makan dengan lahap. Aini dan Aida berpandangan, kemudian serentak menggeleng. Tante Riska tertawa melihatnya.
“Rasanya aneh, Tante.” Aini mengambil gelas minumnya yang berisi air putih dan meminumnya.

“Kalau enggak suka, buat mama aja.” Mama mengambil piring berisi mandai dan menaruh piring itu di depannya. Aini dan Aida kembali berpandangan, kemudian tertawa bersama. Mereka senang melihat mama makan dengan lahap.
“Mama malas membuat mandai. Getahnya itu susah dibersihin.” Aini dan Aida mengangguk-angguk. Pantas mereka merasa asing dengan makanan itu. Mama tidak pernah membuatnya.

 “Terkadang kita perlu bergetah-getah dulu untuk mendapatkan makanan yang lezat,” kata Tante Riska.

“Ah, Tante Riska benar,” kata Mama sambil menambahkan nasi lagi ke piringnya untuk kedua kali. Aini dan Aida berpandangan, kemudian terkikik geli melihat mama melupakan dietnya.

***



























sumber : majalah bobo Edisi 47, Terbit 25 Februari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan