Cerpen : Kegemaran yang langka

 Ibu Mimi berjualan makanan di depan rumahnya. Banyak pegawai kantor yang datang dan makan di kantin ibu Mimi.

Setiap hari, ibu Mimi membeli banyak kaki ayam. Karena ada satu makanan berkuah yang lebih lezat bila dimasak dengan kaki ayam.

Nah, kaki ayam ini amat disukai Mimi. Rasanya gurih, legit, dan ... pokoknya nikmat.

Waktu masih kecil Mimi sering makan 2 buah kaki ayam. Sekarang, setelah kelas V, Mimi bias menghabiskan setengah lusin kaki ayam.

Tetapi, kegemaran Mimi ini nyaris terhenti.

Ibu Mimi berjualan makanan di depan rumahnya. Banyak pegawai kantor yang datang dan makan di kantin ibu Mimi.

Setiap hari, ibu Mimi membeli banyak kaki ayam. Karena ada satu makanan berkuah yang lebih lezat bila dimasak dengan kaki ayam.

Nah, kaki ayam ini amat disukai Mimi. Rasanya gurih, legit, dan ... pokoknya nikmat.

Waktu masih kecil Mimi sering makan 2 buah kaki ayam. Sekarang, setelah kelas V, Mimi bias menghabiskan setengah lusin kaki ayam.

Tetapi, kegemaran Mimi ini nyaris terhenti.

Suatu siang, Rita dan Agnes datang saat Mimi sedang makan siang. Di hadapannya ada semangkuk kaki ayam, lengkap dengan cekernya. "Hai, kalian mau makan? Ayo, kita makan.

Agnes dan Rita saling berpandangan, lalu tertawa.

"Kenapa?" tanya Mimi heran.Tangannya tetap memegang sepotong kaki ayam .

"Aku heran, kamu kok nikmat benar makan kaki ayam. Aku tak pernah mau memakannya!" jawab Rita.

"Aku juga. Malah aku baru pernah lihat ada orang suka makan kaki ayam!" tambah Agnes.

"Oh, ya? Aku kira banyak orang yang suka makan kaki ayam. Lezat kok. Ah, mungkin kalian berdua saja tidak suka karena belum pernah mencobanya. Cobalah satu!" Mimi menawarkan.

Rita dan Agnes menunjukkan wajah jijik.

"Aku jadi ingin tahu berapa orang anak di kelas kita yang suka makan kaki ayam!" tiba-tiba Rita berkata.

"Baik, besok aku akan menanyakan pada teman-teman kita. Akan kubuktikan cukup banyak orang yang tahu lezatnya kaki ayam!" kata Mimi bersemangat.

Esok harinya, Mimi membawa notes kecil dan menuliskan nama-nama kawan sekelasnya yang 37 orang itu. Lalu, ia menanyai mereka satu persatu. Pekerjaan itu tidak sulit. Ia melakukannya sebelum bel masuk berbunyi, waktu istirahat pertama dan kedua.

Namun, hasilnya mengecewakan Mimi. Ternyata, tak seorang pun kawan sekelasnya suka makan kaki ayam.

Sekarang Mimi mulai ragu-ragu. Jangan-jangan ia yang aneh karena suka makan kaki ayam. Apakah sebaiknya mulai sekarang ia tidak makan kaki ayam lagi? Tetapi, bisakah ia menghentikan kegemarannya itu?

Masih tengiang-ngiang di telinganya jawaban kawan-kawannya, "Ih, aku sih jijik.

Ayam biasanya mencakar di tempat-tempat sampah, kata Yuli.

"Ha, ha, ha, kamu suka makan kaki ayam? Kamu juga suka buntut dan kepala ayam?" goda Dani.

"Ih, amit-amit seperti tak ada makanan lain saja!" kata Ine.

Sepulang sekolah wajah Mimi murung. la tak mengira kegemarannya itu merupakan kegemaran yang langka. "Sudah pulang, Mi? Itu di panci ada kaki ayam," ujar Ibu.

Mimi menggelengkan kepalanya.

"Lho, ada apa?" tanya Ibu heran. Mimi menceritakan masalahnya, lalu berkata, "Ibu tak pernah bilang kalau banyak orang tak mau makan kaki ayam!"

Ibu tertawa dan berkata, "Memangnya kenapa? Nah, coba kamu jawab pertanyaan-pertanyaan ini. Lalu, kamu ambil keputusan apakah kamu mau meneruskan atau menghentikan kegemaranmu!"

"Pertama, kalau kamu suka kaki ayam apakah dirimu menjadi rugi?" tanya Ibu.

"Tidak!" jawab Mimi.

"Kedua, apakah sikap kawan-kawanmu berubah setelah mereka tahu kamu suka makan kaki ayam?" tanya Ibu lagi.

"Tidak!" jawab Mimi.

"Ketiga, apakah kalau misalnya si Rita suka makan daun pepaya yang pahit, semua anak di kelas harus mengikuti kegemarannya?" Ibu mengajukan pertanyaan yang terakhir.

"Tidak!" jawab Mimi.

"Kalau begitu, ambillah keputusan yang terbaik bagimu!" kata Ibu.

Mimi tersenyum. Hilanglah keraguannya. la mengucapkan terima kasih pada Ibu, lalu mengambil mangkuk kosong dan pergi ke dapur. Selanjutnya kamu tahu apa yang dikerjakan Mimi, bukan?



















Sumber : bobo.grid.id

Cerita oleh: Widya Suwarna

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan