Cerpen : Kebun Lai Pak Arwan

“ada  lai jatuh!” seruku girang, aku dan Abri bergegas mendekati buah durian khas Kalimantan tersebut. Saat itu kami melewati kebun Lai Pak Arwan. “ matang di pohon. Pasti enak sekali”,ujar Abri. Berbeda dengan durian yang berwarna kuning, kulit dan daging lai berwarna jingga. Kuendus aroma Lai.” Ini lai terbaik yang pernah ada ,” kata ku layak seorang pakar buah – buahan. 
Aroma lai tidak setajam durian. Daging buahnya juga lebih kasat. “ Hai, jangan mencuri!” teriak seseorang dalam kebun. Kami berdua terkejut. Seketika kujatuhkan buah berduri itu, dan mengenai kaki Abri. Ia meringis kesakitan. “ Kembalikan!” perintah Pak Arwan. Ia mendekati kami dengan kaki yang terpincang – pincang. Tongkat kayunya di acung – acung pada kami.
“ Maaf, Pak!” kataku lirih. Kuulurkan lai itu pada Pak Arwan. Kami cepat – cepat berlalu. “ Huh! Pelit sekali. Satu buah tidak akan mengurangi hasil kebunya yang ratusan pohon”. Gerutuku sebal. “ Padahal Lai tadi jatuh di luar pagar “ timbal Abri kesal. Di desaku memang ada aturan tidak tertulis tentang itu. Siapa pun boleh memetik buah yang sudah matang di kebun. Syaratnya harus dimakan ditempat dan bijinya ditinggalkan.
Saat makan siang, aku mengadu pada Mamak.”Mak, Pak Arwan itu pelit sekali !” kuceritakan kejadiannya pada Mamak. “ Tak boleh berprasangka buruk pada orang lain. Lagi pu;a, lai itu memang bukan milikmu,kan ?” Mamak duduk dihadapanku.”Nanti,kalau ada yang berjualan lai di pasar. Orang tua ku memiliki sebuah kios karena ada keperluan lain. Jadi aku yang membantu Mamak di pasar. 
Orang tua ku memiliki sebuah kios barang pecah belah di pasar desa. Aku sedang menata barang – barang saat Pak Arwan datang. “ Selamat sore, Pak!” sapa Pak Arwan pada bapaku. “Wah, Pak Arwan! Apa kabar?” Bapak menyalami Pak Arwan dengan hangat. “Saya , mau membeli piring. Tadi pagi piring saya pecah”. “ Bapak perlu berapa buah?”. “ sebuah saja, Pak,” jawab Pak Arwan. Hah ? sebuah? Orang lain membeli piring paling sedikit setengah lusin atau enam buah. Bukankah Pak Arwan orang kaya? Kebunnya sangat luas dengan ratusan Pohon Lai. Ternyata memang pelit. Aku mengolok dalam hati. Bapak dan Pak Arwan masih mengobrol. 
Aku mengamati mereka dari sudut kios. Pak Arwan tidak sedikit pun melitik padaku. Lalu bapaku mengambil tiga piring paling bagus dari tumpukan. Setelah dibungkus, diberikannya pada Pak Arwan.” Tidak Usah, Pak! Dibawa saja. “ Bapak menolak saat Pak Arwan mau membayar. Pak Arwan mengucapkan terimakasih lalu berpamitan. “ Kenapa diberikan gratis, Pak?” tanyaku heran. “ Tidak apa – apa. Memberi tidak akan merugikan kita sama sekali, ‘ jawab Bapak. 
Keesokan harinya, aku bercerita pada abri di sekolah. “ Pak Arwan benar – benar pelit. Dia tak mau memberi kita lai. Tapi, dia mau saja menerima piring gratis dari bapakku”. “ Keterlaluan sekali. Suatu saat dia pasti akan mendapatkan pelajaran,” Kata Abri. “ Apa maksudmu?”. “ Biasanya orang pelit akan menerima ganjarannya. Kata mamaku, kalau kita pelit, nanti akan kena batunya. Katanya sih, itu cara Tuhan mengubah sifat  orang pelit,” jawab Abri 
Pulang Sekolah, kami melihat iring – iringan truk keluar dari kebun Pak Arwan. Tumpukan lai terlihat mengintip dari atas bak truk. Aroma lai matang menggelitik hidung saat melewati kami. Aku menelan ludah membayangkan daging buahnya yang lebat dan enak.” Wah, sudah dipanen semua,” kat Abri kecewa. Kami memandangi kebun Pak Arwan . tak ada satu buah pun tersisa. “ Pak Arwan pasti mendapat uang banyak sekali”. Timpalku. 
Setelah iring – iringan truk berlalu, terlihat kerumunan di depan rumah Pak Arwan dalam kebun. Ada apa, ya? Ada Bapak, bapaknya Abri, dan beberapa tetangga lainnya. Bahkan ada Pak Lurah juga. Bapak melambaikan tangan memanggil kami. Kami pun masuk ke kebun. “ Ada apa pak ? kenapa Bapak disini ?” tanyaku heran. Bapak terlihat sangat gembira. Begitu juga dengan bapak – bapak yang lain. Mereka mengobrol dan bersanda gurau dengan Pak Arwan. 
Pandangan Bapak menerawang jauh. “ Lima tahun lalu, terjadi kebakaran di pasar desa. Semua kios habis dilahap api. Sebagian besar warga desa merugi dan kehilangan pekerjaan. Syukurlah Pak Arwan bersdia membantu. Beliau meminta seorang kenalan di kota memberikan dana untuk membangun kembali pasar desa. Bayarannya adalah kebun pak Arwan. Selama lima tahun, setiap buah lai dari kebun ini menjadi milik pemberi dana itu.” 
Aku dan Abri berpandangan. Wajah kami memerah. Ternyata Pak Arwan seorang yang berhati malaikat. Bapak melanjutkan ceritanya.” Dan panen kali ini adalah yang terakhir. Sekarang, kebun ini sudah menjadi milik Pak Arwan lagi”. Pak Arwan menepuk pundakku dan Abri. “ Musim buah mendatang, kalian boleh menikmati lai sepuasnya”. Aku tersenyum malu. Aku berjanji tak akan mudah berprasangka buruk lagi.














sumber : majalah bobo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan