Kau Juga Hebat, Sayang!
Betapa senangnya saya melihat Riki, adiknya Heru, teman sekolah saya. Anak laki-laki itu baru berumur delapan tahun. Lincahnya bukan main. la selalu nampak ceria. Sifatnya itu mungkin yang membuat saya jatuh sayang padanya. Sifat yang tak saya temui pada adik saya sendiri, Dani. Tentu saja saya sayang pada Dani, walau ia pendiam dan pemalu. Cuma, menurut saya, apa salahnya kalau ia bisa menyamai Riki.
Adik teman saya itu laki-laki yang hebat! Kalau saya bermain ke rumah Heru dan teman saya itu tidak ada, saya tak merasa rugi. Dengan Riki pun, saya betah bermain. Anak ini cepat bisa permainan yang saya ajarkan. la tak canggung atau takut kalah bermain dengan anak sebesar saya. Riki juga tidak cengeng. Kadang kala, eh ... malah sering, saya membanding-bandingkannya dengan Dani. Padahal Mama tak setuju dengan sikap saya itu.
"Kalau Adi melihat segi yang baik dalam diri Riki, semestinya Adi melihat yang baik pula dalam diri Dani!" kata Mama pada saya."Sehingga Adi tidak beranggapan bahwa anak laki-laki lain begitu hebat, sedang adik sendiri tak berarti apa-apa!"
"Kenyataannya kan begitu!" bantah saya.
"Dani tidak bisa apa apa. Main layangan tidak bisa! Main kelereng tidak bisa! Main ini tidak suka, main itu juga tidak ...."
Mama tersenyum dan berkata, "Dani suka membaca."
Nah, itu gara-garanya! Saya tak suka Dani terlalu banyak menghabiskan waktunya dengan membaca. Bila saya melihatnya asyik membaca di sudut ruang tamu dengan kedua alis tertekuk hampir menyatu, dahi berkerut-kerut, saya seperti melihat seorang anak yang murung dan kesepian.
Saya jadi kasihan padanya. Karena itu saya berniat mengajaknya bermain ke alun-alun. Di situ bisa bermain sepak bola, kasti, atau kejar-kejaran dengan teman-teman. Sore-sore begini teman-teman pasti sudah berkumpul di sana. Saya ajak Dani ke sana.
"Nggak, ah!" tolaknya.
"Dani mau baca saja."
"Ayo!" paksa saya.
"Kita main sepak bola."
"Dani kan tidak bisa main sepak bola."
"Huh!" ejek saya. "Cuma menendang bola saja tidak bisa."
Berhasil juga akhirnya saya mengajaknya ke alun-alun. Akan tetapi, ia kemudian membuat saya malu. Masa, tersenggol sedikit oleh lawan, ia sudah jatuh. Jatuh yang kelima kalinya, ia menangis. Duh, cengengnya!
Lama-lama saya jadi bosan mengajaknya bermain. Memang ia sudah mulai bisa mengikuti setiap permainan, tetapi tetap tak sehebat Riki. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Mama, saya sering mengolok-olok dan membandingkannya dengan Riki.
Adik saya itu tak menanggapi olok-olok saya. la selalu berusaha menyembunyikan genangan air yang memenuhi matanya. Mungkin takut ejekan saya, ia kembali menolak bermain. Sering Riki membujuknya. Karena Dani keras kepala, terpaksa Riki mengalah. la yang main ke rumah dan menemani Dani di kamarnya.
Suatu hari, tanpa berkata-kata, Mama menggandeng saya mendekati kamar Dani. Mama menyuruh saya mengintip ke dalam. Saya mematuhinya tanpa sempat bertanya. Di dalam kamar, saya melihat Dani dan Riki asyik mengobrol. Saya tak tahu apa yang mereka percakapkan. Tangan Dani begitu sibuk bergerak-gerak. Sementara Riki ternganga mendengarkan dan dari matanya terpancar kekaguman. Sekali-sekali saya dengar Riki bertanya, "Kamu tahu dari mana?"
Jawab Dani, "Dari buku. Ini bukunya.Naa ...."
"Wow!" Selang beberapa waktu Riki menjerit.
"Kamu hebat, Dan!"
Saya tertegun mendengamya. Seperti biasa, Mama tersenyum manis pada saya.
"Adi, kau juga punya adik yang hebat!" bisiknya lembut. Saya tertegun lagi.
Kemudian, sepenuhnya saya percaya Mama benar. Betapa bersalahnya saya selama ini. Selalu meremehkan kekurangan Dani yang tak sekuat dan segesit Riki. Padahal ada yang bisa dibanggakan dari adik saya itu, yakni kepintarannya dan pengetahuannya yang luas dan banyak karena rajin membaca. Mengingat sering ada genangan air dalam mata Dani bila saya mengoloknya, rasa bersalah yang dalam menyelinap dalam hati saya.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Komentar
Posting Komentar