CERPEN : Bukan Ikan Air Tawar

 Hari masih pagi. Becok bersama Udin mengayuh sepeda sambil bersiul. Pada boncengan sepeda mereka ada tas yang besar. Tak berapa lama kedua laki-laki itu telah berada di jalan raya. Mobil dan motor yang lalu lalang melewati mereka tak dipedulikan. Mereka terus saja mengayuh sepeda mereka hingga di pasar ikan, tak jauh dari pantai.

Din, kau tunggu di sini, ya? Aku mau membeli ikan dulu," ujar Becok seraya memarkir sepedanya di tempat yang aman. Lalu dengan tergesa-gesa Becok pergi ke sebuah kios penjual ikan.

Ia tawar menawar dengan si penjual ikan. Setelah harga disepa- kati, Becok pun membayar harga ketiga ekor ikan yang dibelinya. Seekor ikan kakap dan dua ekor ikan mujair.

“Beres, Din! Rencana kita kali ini pasti siiiip!" ujar Becok seraya memperlihatkan ikan yang dibelinya.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke arah timur, ke daerah perumahan mewah. Pagi itu, jalanjalan di daerah ini sangat sepi. Karena para penghuninya kebanyakan pergi ke kantor atau ke sekolah. Sedang para ibu pergi ke pasar.

"Itu rumahnya, Cok!" Udin menunjuk ke sebuah rumah besar bercat biru.

Dari seberang jalan, Udin dan Becok memperhatikan rumah itu. Mereka bercakap-cakap lama sekali, merundingkan sesuatu. Dan sekali-sekali menunjuk ke tanah yang lapang yang penuh ditumbuhi alang-alang. Selang beberapa menit, kedua orang itu telah berada di sana.

Sepeda mereka letakkan, lalu mereka mengganti pakaian mereka dengan pakaian yang berwarna abu-abu. Dan menambahkan kumis di wajah mereka.

Setelah selesai mereka menghampiri rumah besar yang bercat biru.

"Ting ... tong!" Becok memencet bel. "Ting ... tong ...!"

Muncullah seorang pembantu yang sudah agak tua.

"Selamat pagi, Bu!" sapa Becok dengan ramah. "Tadi pagi Nyonya menelpon kami. Katanya kami disuruh memperbaiki televisi."

Tanpa rasa curiga, pembantu itu membuka pintu dan mengajak kedua tamu itu masuk.

Tapi, segera Becok dan Udin menyergap pembantu tua itu dan semua pembantu yang ada di rumah itu. Para pembantu itu disekap di sebuah ruangan yang ada di belakang.

Setelah merasa aman, kedua laki-laki itu pun mulai beraksi. Semua barang antik yang ada di rumah itu dan yang bisa mereka bawa, dimasukkan ke dalam tas. Lalu mereka meninggalkan rumah itu dengan tenang.

Dengan susah payah, para pembantu yang disekap mencoba mendobrak pintu ruangan di mana mereka disekap. Setelah beberapa lama, akhirnya pintu itu dapat dibuka. Segera salah seorang dari mereka menelpon majikan mereka yang sedang berada di kantor.

Dalam waktu singkat rumah Ir. Sutadi, pemiiik rumah itu, ramai dikerumuni orang. Polisi pun sudah datang. Mereka memeriksa isi rumah dan menanyakan beberapa hal kepada para pembantu. Dan mencatat segala sesuatu yang diperlukan.

"Kalau melihat ciri-cirinya, saya menduga bahwa pencuri itu adalah si Becok. Pencuri benda-benda antik," ujar Sersan Darto yang mengepalai regu penyidik. "Bapak dan Ibu tenang-tenang saja. Mudah- mudahan dalam waktu singkat kami bisa membekuk pencuri itu!"

Sersan Darto lalu kembali ke mobilnya. Bersama anak buahnya ia mendatangi rumah Becok, seorang yang sudah sering dihukum karena mencuri.

"Tok ... tok ... tok!" Sersan Darto mengetuk pintu rumah Becok. Sementara yang lainnya berjaga-jaga di sekitar rumah, agar Becok tidak melarikan diri dari pintu belakang.

"Selamat siang, Bu! Kami dari kepolisian ingin bertemu dengan Pak Becok," kata Sersan Darto. Lalu ia menanyakan kemana Pak Becok pergi dan juga menceritakan peristiwa perampokan di rumah Ir Sutadi.

Mendengar itu istri Becok ketakutan. "Tidak mungkin! Suami saya tadi pagi memancing di telaga Bojong!"

"Tenang saja, Bu!" ujar Sersan Darto.

"Kami datang di sini hanya ingin bertemu dengan Pak Becok. Belum tentu suami Ibu kami tahan!"

Lama mereka menunggu, tapi Becok belum juga muncul. Sekalisekali Sersan Darto melihat ke arlojinya.

"Pukul satu!" ujarnya dalam hati. Tiba-tiba terdengar siulan. "Nah, itu Bapak!" tukas Bu Becok, seraya menyambut suaminya di depan pintu.

"Eee, ada tamu," ujar Becok ketika melihat Sersan Darto.

Sersan Darto tersenyum, lalu berkata, "Ya! Mau bicara dengan Bapak sebentar!" Becok lalu meletakkan ikan-ikan yang dibawanya di meja makan dan duduk di dekat istrinya.

"Begini Pak Becok. Tadi kira-kira pukul delapan Pak Becok berada di mana?" tanya Sersan Darto.

"Ooo, saya bersama teman saya memancing di telaga Bojong," sahut Becok dengan tenang, seraya menunjuk ke ikan hasil 'pancingannya'.

Melihat ikan yang ditunjuk oleh Becok, Sersan Darto mengernyitkan dahinya. Lalu katanya, "Saya rasa sebaiknya Pak Becok ikut kami!"

"Tapiii ... apa salah saya, Pak? Bukankah memancing itu perbuatan yang halal?" Becok berusaha membela diri.

"Ah, sudahlah! Nanti semua saya jelaskan di kantor polisi. Sekarang Pak Becok ikut saja dulu," sahut Sersan Darto seraya menugaskan anak buahnya agar membawa Becok.

"Lagi-lagi Becok hendak mengelabui kami. Tapi ternyata ia kurang cerdik. Mana mungkin di telaga Bojong ia bisa memancing ikan kakap dan ikan mujair? Ikan mujair memang ikan air tawar. Tapi ikan kakap bukan ikan air tawar, bukan?" ujar Sersan Darto kepada anak buahnya. 




Sumber : bobo.grid.id

Cerita dan ilustrasi oleh: Dok. Majalah Bobo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan