CERPEN: Perebut Hati Ibu

Tari tiba di rumah dengan perut lapar. Kegiatannya di sekolah cukup membuat ia kelelahan. Di ruang keluarga, Ibu menyambutnya.

"Ayo, ganti baju, Tari. Lalu segera makan siang," ujar Ibu, seperti biasanya, sambil tetap sibuk mengadon kue.

Selesai ganti baju, Tari membuka tudung saji. Benar dugaan Tari. Hari ini, lauknya sop dan nuget ayam. Kemarin, telur dadar dan sayur bayam. Kemarinnya lagi, sop dan sosis.

Sejak Ibu kebanjiran pesanan kue, masakan Ibu jadi itu-itu saja. Padahal, dulu menu makan siang Tari selalu beragam. Ada ayam bakar madu, sup bola-bola daging, gulai ikan, dan lain sebagainya. Dulu, Ibu juga sering bermain bersama Tari. Sekarang, Ibu lebih sering berada di dapur.

"Tari, kamu siap-siap, ya! Nanti setelah semua kue Ibu matang, kita akan ke toko buku," ucap Ibu.

"Wah! Benar, Bu?" tanya Tari setengah tak percaya.

Ibu menggangguk sambil tersenyum manis. Tari pun cepat-cepat menghabiskan makan siangnya.

Sesampainya di toko buku, Tari segera menuju rak buku cerita anak-anak. Biasanya, Ibu akan mengikutinya. Namun, tidak kali ini.

"Nak, kamu tunggu di toko buku ini, ya! Sambil melihat-lihat buku, Ibu mau ke supermarket sebelah untuk belanja bahan-bahan kue. Kamu pilih-pilih saja buku yang mau dibeli," bisik Ibu sambil mengelus kepala Tari. Ibu lalu pergi.

"Aku pikir Ibu mau menemaniku melihat-lihat buku. Eh, tidak tahunya, Ibu mau belanja bahan-bahan kue. Aku malah ditinggal sendiri," gumam Tari kesal.


***


Esok harinya, Tari membawa buku cerita barunya ke sekolah. Saat jam istirahat, ia membaca buku itu di halaman sekolah.

"Waah, itu, kan, novel anak terbaru!" pekik Siska sambil menunjuk buku yang dipegang Tari.

Tari hanya mengangguk.

"Enak, ya, jadi kamu. Sejak ibumu berjualan kue, koleksi bukumu bertambah banyak. Sepatumu juga. Kalau aku, harus menabung dulu," cerocos Siska.

Memang benar, kini Tari tidak perlu menunggu sepatunya sempit untuk membeli yang baru. Ia juga bisa membeli lima buku sekaligus. Tari jadi mengenang, bagaimana Ibu sampai menjadi penjual kue. Itu bermula ketika Ayah mengalami kecelakaan. Ayah jadi tidak bisa berjalan dan tidak bisa bekerja sementara waktu. Ibu terpaksa berjualan kue membantu Ayah mencari nafkah.

Saat itu, Tari tidak merasa kesepian karena ada Ayah di rumah. Akan tetapi, saat kaki Ayah pulih dan  Ayah kembali bekerja, Tari pun mulai merasa kesepian. Sebab, baik Ayah maupun Ibu, tak ada di rumah.

"Harusnya Ibu berhenti berjualan kue. Kan, Ayah sudah kembali bekerja," gumam Tari tanpa sadar.

Siska mendengarnya keheranan. "Kamu enggak suka ibumu berjualan kue?"

"Iya, Sis. Ibu jadi sibuk dan jarang meluangkan waktu untukku," keluh Tari.

"Tapi, ibumu, kan, membuat kue di rumah. Kamu bisa meluangkan waktu bersama sambil membantu membuat kue. Aku malah iri sama kamu. Kue buatan ibumu enak, sih," seloroh Siska panjang lebar.

Membuat kue bersama? Tak pernah terpikir oleh Tari. Mungkin karena ia menganggap kue-kue itu telah merebut perhatian Ibu darinya.


***


Esoknya, sepulang sekolah, Tari langsung masuk ke dalam rumah. Ia tidak menyapa Ibu yang sedang asyik dengan mixer dan adonan. Tari berganti pakaian, makan siang, lalu masuk lagi ke dalam kamarnya dan membaca buku. Kalau Ibu sibuk, aku juga akan sibuk, begitu pikirnya. Tiba-tiba, pintu kamar Tari terbuka.

"Ya ampun! Kamu sudah pulang? Kenapa tidak menyapa Ibu?" pekik Ibu.

"Ibu, kan, sibuk membuat kue. Tiap kali Tari sapa, Ibu tidak pernah masak masakan kesukaan Tari. Ibu juga tidak pernah menemani Tari memilih buku lagi," kata Tari kesal. 

Ibu terkejut, tetapi diam saja, lalu keluar dari kamar.

Saat makan malam, Ayah bingung melihat Ibu dan Tari yang diam saja.

Sebenarnya, Tari ingin meminta maaf karena sudah bersikap kasar pada Ibu. Namun, ia masih kesal.

Malam sebelum tidur, Ibu datang ke kamar Tari.

"Ibu minta maaf, ya, karena kurang memerhatikan Tari. Ibu kira dengan membelikan barang-barang kesukaanmu, kamu sudah senang," Ibu diam sebentar, kemudian berkata lagi, "Tapi, Ibu juga tidak bisa berhenti berjualan kue karena sebenarnya ini cita-cita Ibu," sahut Tari.

"Nah, bagaimana kalau kita menyusun jadwal bersama? Jadi, Ibu bisa tahu kegiatan Tari, dan Tari tahu kegiatan Ibu. Kalau mau, Tari boleh, kok, membantu membuat kue. Selain bisa belajar, kita juga bisa mengobrol," usul Ibu.

Tari mengangguk senang dan lega. Akhirnya, ia bisa menghabiskan waktu bersama Ibu seperti dulu. Tari juga berjanji mendukung cita-cita Ibu menjadi pembuat kue terkenal.



Sumber: Majalah Bobo Edisi 50 | 18 Maret 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan