CERPEN: Masker Buatan Sendiri

“Dengan menyebarnya virus virus Covid-19 di seluruh dunia, semua orang berbondong-bondong mencari masker. Bahkan, ada yang memborong dan menimbunnya sehingga harga masker di pasaran melambung tinggi. Apalagi sekarang ini, pemerintah menganjurkan setiap orang yang keluar rumah wajib memakai masker. Masker semakin sulit ditemukan, bagai hilang ditelan bumi…”

Ibu geleng-geleng kepala mendengar berita di televisi. Nia yang tidak sengaja ikut mendengar, ikut menggeleng-gelengkan kepala.

Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Ternyata Tante Sari yang datang. Kakak perempuan ibu Nia itu seorang perawat di puskesmas. Ia memakai masker dan langsung menuju ke kamar mandi untuk mencucui tangan dengan sabun. Setelah itu ia menuju ke ruang tamu dan duduk bergabung dengan Ibu dan Nia dengan jarak 1,5 meter.

“Kenapa di depan rumah ini tidak tersedia sabun dan air pembilasan?” tanya Tante Sari.

“Untuk apa?” tanya Nia.

“Supaya tamu dan penghuni yang masuk ke rumah ini, sudah dalam keadaan bersih, krena sudah mencuci tangan dengan air dan sabun.”

Nia manggut-manggut mendengarnya. Ia tidak pernah berpikir untuk menyediakan sabun dan air pembilasan di depan rumah. Ibu juga sepertinya lupa. Ibu lalu menyuruh Nia untuk pergi ke warung karena persediaan gula sudah habis.

“Setelah beli gula, jangan lupa menaruh botol sabun dan ember air di teras untuk cuci tangan, ya, Nia,” pesan Ibu.

Tante sari mengeluarkan masker dari dalam tas dan meminta Nia untuk memakainya.

“Setiap keluar rumah, harus pakai masker, ya!” ucapnya.

Nia sebetulnya sudah punya beberapa masker. Namun, tak ada salahnya menerima masker pemberian Tante Sari. Di jalan menuju warung, Nia berpapasan dengan beberapa orang. Ternyata banyak juga orang yang tidak memakai masker.

Setiba di depan warung Bu Wati, Nia melihat sabun cair dan ember berisi air pembilasan. Di situ ada juga kertas berisi tulisan agar pengunjung mencuci tangan dengan sabun sampai bersih. Nia lega karena warung tempat ia dan ibunya membeli keperluan dapur itu, sudah mengikuti anjuran pemerintah.

Sampai di rumah, Nia meletakkan bungkusan gula, lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Nia lalu mencari botol bekas sabun yang sudah kosong. Ia mengisinya dengan sabun cari dari kemasan isi ulang. Ia kemudian mengisi sebuah ember dengan air. Lalu membawa ember dan botol sabun cair ke teras rumah. Nah, kini, di teras rumah Nia pun sudah tersedia sabun cair serta air pembilasannya.

“Semoga semua warga di kampung ini terhindar dari virus Covid-19. Amin…” doa Nia khusuk. Tante Sari senyum-senyum sendiri melihat Nia, dan mengacungkan kedua jempolnya.

Ketika masuk kembali ke dalam rumah, Nia heran melihat ibunya membuka penutup mesin jahit. Mesin itu sudah lama tidak dipakai. Dulu, Ibu memang menerima jahitan. Namunm setelah Covid-19 menyebar, hampir tak ada pesanan jahitan dari warga desa. Padahal, ibu masih punya beberapa helai kain cadangan.

“Ibu mau jahit apa?” tanya Nia heran.

“Ini, tantemu menyarankan Ibu membuat masker. Kain persediaan Ibu kan masih banyak,” jawab Ibu sambil melirik pada kakaknya, Tante Sari.

“Ibumu mau membagi-bagikan masker pada orang-orang desa yang tidak mampu membeli. Ibumu kan  pintar menjahit. Kalau membeli masker dalam jumlah banyak, pasti harganya mahal. Lebih baik membuatnya sendiri,” jelas Tante Sari. Nia tersenyum lebar penuh semnagat. “Aku bantu Ibu, ya!” ujarnya. Tante Sari pamit karena harus bertugas di puskesmas. Sore itu, Ibu membuat masker kain berlapis tiga sesuai anjuran pemerintah. Nia membantu memotong kain sesuai pola masker buatan Ibu. Ia juga menghitung jumlah masker yang telah Ibu jahit. Ia menyusunnya di dalam plastik bersih. Jumlahnya lima puluh helai masker.

“Lumayan banyak, Bu,” kata Nia.

Sore itu, Nia juga belajar membuat masker sendiri. Walau hasilnya belum sebagus bikinan Ibu, Nia cukup bangga melihat msaker buatannya. Kain persediaan Ibu masih ada. Ibu melanjutkan menjahit masker. Nia bangga pada ibunya yang bekerja tanpa lelah. Nia saja sudah merasa pegal, padahal ia hanya memotong kain dan mencoba menjahit tiga helai masker.

Tak terasa, cukup banyak masker yang Ibu jahit. Nia dan Ibu merasa lelah. Ibu duduk beristirahat di teras. Nia bergegas ke dapur membuat dua gelas the hangat. Ia juga mengambil sepiring pisang goreng yang telah digoreng ibunya tadi.

Nia membawa the dan pisang goreng itu ke teras.

“Terima kasih, sayang… Semoga lelah kita berdua berguna untuk warga kampung ini, yaa…” ujar Ibu senang.

Esok harinya, Nia mengajak teman-temannya membagikan masker pada tetangga sekitarnya dulu. Sisanya lalu dibagikan pada pejalan kaki atau pengemudi motor yang tidak memkai masker. Orang-orang itu tampak senang menerima masker buatan Ibu.

Setiba di rumah, Nia bercerita tentang pengalamannya itu. Ibu gembira karena hasil karyanya diterima warga desa dengan senang hati. Kebahagiaan Ibu bertambah ketika mendapat telepon dari Bu RT. Ternyata, Pak Lurah memesan 200 lembar masker. Nia dan Ibu gembira karena mendapat rezeki itu. Kebaikan berbalaskan kebaikan.


Sumber: Majalah Bobo Edisi 19 (13 Agustus 2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan