CERPEN: Ketika Pompa Air Rusak

Hari baru pukul lima pagi, tetapi  suasana di rumah keluarga Sutrisno sudah ramai. "Berhubung pompa air rusak, air untuk mandi terpaksa dijatah. Masing-masing boleh memakai air seember untuk mandi pagi ini!" demikian pengumuman yang diberikan Ibu.

"Mudah-mudahan nanti siang Pak Mus bisa datang memperbaikinya dan nanti sore keadaan sudah seperti biasa!" tambah Ayah.

Kak Lisa yang sedang sibuk menyelesaikan tugas gambarnya dengan cat air berkata, "Tak apalah sekali-kali mandi dengan air seember. Namanya juga keadaan darurat. Aku mandi paling belakang. Yang penting gambar ini selesai dulu!"

Roni si bungsu sudah membawa handuk dan pakaian dalam. la baru kelas nol dan dengan mata masih mengantuk duduk di bangku menunggu perintah ibu atau kakak-kakaknya.

Yang paling ribut adalah Rosa, yang biasa disebut "Nenek Lampir" karena paling cerewet.

"Mana bisa mandi cuma seember? Memangnya mandi pas foto. Tidak mungkin bisa bersih. Orang ke sekolah kan maunya segar dan bersih. Kalau airnya kurang mana bisa bersih?" la mulai mengomel.

"Dasar cerewet! Namanya juga keadaan darurat. Harus bisa menyesuaikan diri, dong!" seru Edi, si sulung yang sudah kelas 3 SMP.

"Biar, aku tidak usah sekolah saja. Buat apa pergi ke sekolah kalau badan tidak bersih?" Rosa mulai ngambek.

"Bu, aku boleh mandi duluan?" tanya Roni.

"Ya, ya, masuklah. Pakai air yang di ember hijau itu, ya? Guyur satu gayung, lalu sabuni badanmu!" pesan Ibu. Roni segera masuk ke kamar mandi.

"Huh, harus diperiksa tuh apa Roni bisa mandi dengan air sedikit. Jangan-jangan punggung dan telinganya masih bersabun!" seru "Nenek Lampir" lagi.

"Tak usah kasih kuliah. Ibu juga pasti periksa!" sambar Iwan yang duduk di kelas 1 SMP.

"Bu, aku mandi di rumah Neti, ya?" pinta Lili yang baru duduk di kelas 2.

"Baiklah, kali ini saja. Jangan lupa bilang terima kasih!" kata Ibu. Dengan gembira Lili bersiap-siap. Sambil masuk ke kamar ia sempat berucap, "Cihuii, asyiknya mandi pakai shower di rumah Neti!"

"lih, orang kesal tak ada air, dia malah senang numpang mandi di rumah tetangga!" cela Rosa.

"Sudah, jangan ribut saja. Kalau tak mau mandi pakai air seember, kamu mandi saja di rumah Neti!" kata Ibu pada Rosa agak jengkel.

"Amit-amit!" kata anak kelas empat itu sambil tetap memasang wajah kecut.

"Aku dan Mas Edi akan meminta air pada Pak Dudi di sebelah rumah kita. Kami berdua akan menggotong dan mengisi bak mandi sampai penuh lagi setelah kami mandi sepuasnya!" Iwan memberi pengumuman.

"Nah, persoalan mandi pagi hampir selesai!" kata Ibu, sambil terus sibuk memanggang roti. Mengurus sarapan pagi enam orang anak memang cukup merepotkan. Sementara itu Ayah sibuk memeriksa mobil di garasi.

"Kalau mau mandi dengan air yang banyak, kamu ikut saja menggotong air bersama Mas Edi dan Mas Iwan!" saran Lisa.

"Tak usah ikut campur. Urus saja gambarmu. Memangnya aku ini pembantu, harus angkut-angkut air. Tidak! Sekarang aku mau mandi sepuasku, lalu aku akan memanggil tukang air untuk menggantikan air yang kupakai!" Rosa memutuskan.

"Satu pikul Rp 250,-!" kata Iwan.

"Biar, empat pikul pun tak apa-apa. Aku akan membayarnya!" seru Rosa, lalu keluar untuk memesan air tak jauh dari rumah.

Mas Edi, Mas Iwan, dan Lisa tertawa.

"Aku mau mandi, ah. Sebelum si nenek kaya mandi, lebih baik kita dulu yang mandi!" kata Iwan, lalu bergegas masuk ke kamar mandi.

Akhirnya keenam anak itu selesai mandi dan semua duduk di muka meja makan untuk sarapan.

"Kalau pompa air sudah betul, pulang sekolah aku mau mandi lagi ah!" kata Lisa.

"Tuh kan, tidak enak mandi dengan air sedikit. Lebih baik seperti aku, buang uang Rp 500,- bisa mandi dengan senang!" kata Rosa.

"Kami malah bisa mandi dengan air banyak tanpa keluar uang!" kata Mas Iwan dan Mas Edi.

"lya, aku juga. Pakai shower lagi!" tambah Lili, sementara Roni sibuk makan rotinya.

Ayah dan Ibu tersenyum saja mendengar percakapan mereka.

"Hari ini kita sudah menyelesaikan satu persoalan. masing-masing dengan caranya sendiri. Tak usah saling membanggakan!" kata Ayah.

"Tidak bangga, cuma kasihan pada Rosa. Pagi-pagi sudah rugi Rp 500,-. Kalau dibelikan mi bakso, kan dapat satu mangkuk!" goda Iwan. "Menyusutlah uang tabungan awak!"

Herannya, kali ini si "Nenek Lampir" tidak marah. la tertawa dan berkata, "Aku tidak rugi. Setiap kali kalian buang botol shampo, botol sambal dan kaleng susu, aku memungutnya dan

mengumpulkannya. Kemarin aku menjualnya, dapat uang Rp 800,- Sekarang masih ada sisa Rp 300,- Hayo, mau bilang apa lagi?"

"Oooh....!" terdengar koor bernada heran, lalu disusul dengan derai tawa. Menyenangkan bukan, kalau pada pagi hari tak ada anak yang marah atau menggerutu? Kalian bisa memilih bagaimana cara menyelesaikan persoalan bila pompa air di rumah kalian rusak.

Cerita oleh: Ny. Widya Suwarna



Sumber: Website Majalah Bobo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan