CERPEN : Terjebak di Pasar Kuno

Pagi itu murid-murid kelas 6 SD Pelita Indah sedang berkunjung ke kawasan Banten Lama. Namun, bukannya memperhatikan Ibu Yani, guru sejarah mereka, Adhia malah sibuk menunjukkan pena barunya kepada Liana. Pena bergagang mutiara itu harganya mahal sekali.

Orangtua Adhia memang kaya raya. Mereka memberinya banyak sekali uang. Akibatnya, Adhia tidak terlalu menghargai dan menjaga barang-barang miliknya. Seperti kamera digital canggihnya yang dalam seminggu sudah terjatuh ke kolam.

Begitu pula rok sutranya yang dengan cepat ketumpahan tinta. Adhia juga tidak segan-segan beli es krim mahal hanya untuk dicicipi sedikit lalu dibuang begitu saja.

Liana hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Ia sendiri harus amat berhati-hati menggunakan barang-barangnya supaya bisa dipakai selama mungkin. Orangtuanya memang tidak kaya.

“Adhia, Liana, perhatikan, ya,” tukas Ibu Yani sambil menatap tajam ke arah Adhia dan Liana. Adhia langsung berhenti memamerkan penanya.

“Dulu sekali, saat Kesultanan Banten masih berjaya, Pasar Karangantu ini adalah pasar besar. Berbagai barang dijual di sini. Porselen Tiongkok, kain India, selendang-selendang Prancis, rempah-rempah, dan masih banyak lagi,” lanjut Ibu Yani.

“Wah, seru juga,” bisik Adhia di dalam hati, “Sepertinya barangnya bagus-bagus. Coba aku bisa kembali ke masa lalu, bisa belanja barang lucu-lucu, deh.”

“Adik mau beli?” Tanya seorang pedagang India sambil menyodorkan gelang manik-manik. Adhia terkejut. Lho, kok? Adhia menoleh kiri kanan dan mendapati dirinya berada di sebuah pasar ramai.

Orang-orang di situ berpakaian ala zaman dulu. Ada orang Tiongkok, India, Turki, Prancis, Belanda, dan entah dari mana lagi.

Setelah diamati lebih lanjut, Adhia bisa mengenali kalau sebetulnya dia masih berada di Pasar Karangantu, Banten Lama.

Hanya saja, ini seperti Pasar Karangantu zaman dulu, zaman Kesultanan Banten! Entah bagaimana caranya ia bisa sampai di sini.

“Adik, ini kalung mutiara asli dari Laut Mediterania. Cantik sekali. Mau beli?” tanya seorang saudagar dari Turki.

“Mau! Mau!” jawab Adhia penuh semangat. Adhia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah dompet kain lusuh. Wah, tidak ada uangnya. Adhia terkejut.

“Saya mau beli,” ucap seorang gadis kecil di samping Adhia. Adhia lebih terkejut lagi sekarang. Gadis kecil itu Liana. Liana mengeluarkan dompet sutra yang terlihat mahal dan penuh lembaran uang.

“Liana?” sapa Adhia ragu. Liana hanya tersenyum sekilas lalu berjalan menyusuri pasar kuno itu.

“Ini pasti mimpi,” bisik Adhia di dalam hati. Namun, kruyuukk. “Lho, di mimpi, kok, aku bisa merasa lapar?” gumam Adhia tambah bingung.

“Pak, bakpao ayamnya satu, ya,” ucap Liana kepada penjual bakpao berkebangsaan Tiongkok.

Bakpaonya tampak enaaaaak sekali dan Adhia sudah lapar sekali. Adhia jadi memandangi Liana yang menggigit bakpao itu.

“Huh, terlalu asin!” kata Liana. Dengan mudahnya, Liana membuang bakpao itu begitu saja. Adhia terkejut sekali melihatnya.

Ia tahu, Liana selalu menghabiskan makanannya biarpun makanan itu tidak terlalu enak. Lama Adhia memandangi bakpao yang dibuang Liana.

“Dik, mau beli, tidak?” Tanya penjual bakpao kepada Adhia, membuyarkan lamunan Adhia. Adhia menggeleng pelan.

Hari itu, di Pasar Karangantu Banten Lama, Adhia melihat betapa mudahnya Liana berbelanja, menghabiskan uang, dan menyia-nyiakan barang yang dibelinya. Sementara, ia hanya bisa diam, menahan diri.

Adhia jadi teringat, betapa sering ia belanja, menghambur-hamburkan uang orangtuanya untuk membeli barang-barang tidak perlu.

Adhia selalu mengajak Liana. Liana hanya bisa menonton sebab ia dan adik-adiknya harus hidup sederhana.

“Adhia? Adhia?” panggil Ibu Yani. Adhia membuka mata. Dilihatnya Ibu Yani, Liana, dan teman-temannya mengerumuninya.

“Makanya, hati-hati kalau jalan. Jangan sambil melamun. Kamu jadi jatuh, kan. Untung cuma lecet-lecet,” ucap Ibu Yani lagi sambil mengurut kaki Adhia.

Ternyata, benar, Pasar Karangantu zaman kuno itu tadi hanya mimpinya waktu ia terjatuh.

Namun, Adhia berjanji di dalam hati, dia tidak akan lagi menghambur-hamburkan uangnya.

“Juga merawat barang-barangmu, Adhia,” bisik Liana tiba-tiba. Adhia terkejut.

Lebih terkejut lagi saat ia melihat Liana sedang mengobrol dengan temannya yang lain. Pelan, Adhia merogoh saku roknya. Ada dompet kain lusuh di sana. Lo, kok?




Sumber : bobo.grid.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONGENG : Rumah untuk di Relakan

Kau Juga Hebat, Sayang!

Dongeng : Dunia Manisan